16 Januari 2009

ANAKKU TEWAS DI TANGAN DUKUN

Akibat terlalu percaya terhadap keampuhan ilmu pengobatan dukun akhirnya Nek Maryam (samaran) harus merelakan buah hatinya pergi untuk selamanya, berikut penuturan lengkapnya kepada Hamdani dari Tabloid Modus Aceh awal September 2007 lalu di rumahnya yang terletak di pesisir utara sebuah kecamatan di Kabupaten Bireuen.

Aku adalah seorang janda yang mempunyai delapan orang anak yang semuanya telah dewasa dan berumah tangga, hanya satu orang yang belum menikah yaitu anak perempuanku Nurmi (sebut saja demikian) yang telah menginjak usia 25 tahun, dia adalah putri bungsuku. Hanya Nurmi satu-satunya yang menemani hari-hari tuaku di rumahku yang sederhana ini, sehingga segala kasih sayang kucurahkan kepadanya.

Tetapi yang sangat menyedihkan aku adalah Nurmi sudah lama menderita semacam penyakit aneh, Nurmi sering seperti orang yang kehilangan ingatan pada saat-saat tertentu, anehnya penyakit ini selalu kambuh waktu mau memasuki bulan puasa, sehingga dengan keadaannya ini mengundang keprihatinan keluarga dan tetangga, hal ini wajar karena Nurmi adalah anak yang baik dan merupakan seorang gadis yang alim yang sehari-hari kalau tidak sakit kerjanya mengajar ngaji anak-anak di kampung.

Berkali-kali kami telah berusaha mencari pengobatan utnuk Murni, banyak orang pintar yang telah kami datangi sebagai upaya penyembuhan Nurmi tetapi semuanya sia-sia yang ada uang yang kukumpul pelan-pelan habis tiada guna. Aku nyaris tidak percaya lagi terhadap segala informasi dari orang-orang yang mengatakan bahwa ada orang sakti yang mampu mengobati penyakit. Aku mulai pasrah dan berserah diri kepada Allah terhadap derita anakku.

Sampai suatu hari ada seorang dukun dari desa tetetangga yang melakukan prosesi pengobatan di kampungku, dukun tersebut terkenal sakti dan ampuh dalam mengobati segala macam penyakit, tetapi prosesi pengobatannya terbilang aneh dan langka yakni dengan cara mengubur pasiennya hidup-hidup tetapi masih menurut informasi dari beberapa tetangga dikuburnya hanya setengah badan. Banyak orang yang telah sembuh dengan cara pengobatan aneh tersebut, sehingga menggerakkan keinginan keluarga kami untuk mencoba cara pengobatan yang walau menurut kami itu aneh dan menakutkan.

Akhirnya aku memanggil beberapa orang anakku untuk berembuk dan bermusyawarah untuk mencoba mengobati Nurmi pada dukun tersebut, dan Nurmi sendiri pada awalnya tidak mau untuk berobat pada dukun tersebut alasannya takut kalau harus dikubur, tetapi setelah kami bujuk-bujuk apalagi saat itu hampir menjelang Ramadhan dimana biasanya penyakit aneh tersebut kambuh akhirnya Nurmi bersedia, apalagi dilandasi tekadnya untuk yang menggebu-gebu untuk bisa melaksanakan puasa dengan kusyu’ di bulan puasa kali ini setelah beberapa puasa banyak yang tinggal akibat penyakitnya kambuh lagi.

Setelah dicapai kata sepakat akhirnya datanglah Nurdin (samaran) Abang Nurmi kepada sang dukun untuk menanyakan tentang perihal pengobatan dan segala proses yang menyangkut dengan pengobatan itu, walau saat itu Nurdin masih tetap ragu dengan cara-cara yang dipraktekkan oleh sang dukun tetapi demi sebuah usaha apapun konsekwensinya akan tetap dilakukan demi sang adik.

Akhirnya diperoleh sebuah kesepakatan untuk memulai pengobatan terhadap Nurmi, hari itu setelah segala syarat-syarat dan perlengkapan di peroleh maka dimulailah prosesi pengobatan tersebut oleh sang dukun yang masih berusia muda itu. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa semoga penyakit anakku segera sembuh.

Hal yang pertama dilakukan oleh sang dukun adalah mengelilingi sebuah lingkaran api yang telah dipersiapkan oleh sang dukun di dapur rumahku, saat itu masih kulihat wajah Nurmi yang pucat dan cemas melihat ke arahku. Saat mendengar perintah dukun untuk menyiapkan sebuah lubang kubur yang menjadi bagian dari upacara pengobatan tersebut, padahal sebelumnya dukun tersebut telah berjanji tidak ada acara kubur mengubur dalam pengobatan Nurmi. Tetapi anehnya tidak ada yang berani dan mampu membantah perintah sang dukun tersebut, kami semua seperti dihipnotis saat itu.

Setelah lubang penguburan siap di dalam kamar Murni sendiri akhirnya sang dukun membawa Murni masuk ke dalam kamar yang telah siap dengan lubang kubur tersebut, Murni hanya bisa menatapku sekali lagi dengan wajah yang kelihatan sangat ketakutan, dia seakan minta pendapatku. Tapi aku saat itu benar-benar terpaku dan tidak berdaya, timbul keraguan dan ingin memberontak pada keadaan tapi aku tidak mampu bersuara, aku seperti dihipnotis oleh dukun biadap itu, ternyata tatapan Nurmi adalah tatapan terakhir untukku.

Setelah dibawa ke kamar pintu dikunci dari dalam, aku tidak ikut masuk karena tidak tega melihat Murni di kubur hidup-hidup, hanya Nurdin abangnya yang selalu mendampingi. Saat itu aku sudah pasrah terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi, niatku adalah usaha untuk melakukan pengobatan buat anakku, meski naluri keibuanku mengatakan ada hal yang kurang beres akan segera terjadi.

Setelah menunggu dengan harap-harap cemas tidak lama kemudian pintu kamar terbuka, ternyata prosesi pengobatan telah selesai. Kemudian kulihat pintu kamar dikunci dari luar oleh sang dukun dan kuncinya ikut dikantongi, dan dukun tersebut mewanti-wanti kepada kami untuk tidak sesekali membukakan pintu kamar tersebut karena resikonya akan sangat besar terhadap pasien.

“Kalian jangan coba-coba membuka pintu kamar ini, karena kalau kalian berani membukannya maka pasien akan berubah jadi kucing hitam”. Demikian ujar sang dukun dengan penuh keyakinan.

Kemudian dukun muda itu melanjutkan, “Nanti dalam satu atau dua hari lagi aku akan balik lagi ke rumah ini untuk mengontrol pasien”. Demikian pesannya sebelum beranjak pergi dari rumahku.

Meski dengan perasaan cemas dan kuatir kami hanya bisa pasrah dan mematuhi segala perintah dukun tersebut, semua ini kami lakukan demi kesempurnaan pengobatan Nurmi, karena semua sayang sama dia.

Satelah kami semua menunggu dengan penuh rasa cemas ternyata dukun itu baru muncul pada hari ketiga, kemunculannya juga dengan sangat mengejutkan dan tiba-tiba sambil berkata, “Kenapa kalian bengong? Itu si Nurmi sudah mati dia cepat angkat dia dari kubur”. Ujar dukun tersebut dengan suara keras.

Mendengar kata-kata dukun itu maka paniklah kami semua, aku nyaris pingsan karena dilanda kesedihan. Maka buru-buru lah pintu kamar di buka, saat pintu dibuka ada bau menyengat yang menyeruak keluar dari sebilah bambu yang ditancap di atas kubur sebagai sarana pernapasan.

Akhirnya dengan terburu-buru dibantu oleh sang dukun biadap itu kubur yang dilapisi dengan beberapa potong papan itu dibuka. Setelah berhasil dibongkar akhirnya terlihatlah sesosok mayat Nurmi yang sudah membusuk dan menyebarkan aroma yang tidak sedap di dalam lobang kubur yang dibuat sang dukun. Melihat fenomena itu aku menangis histeris, sehingga beberapa orang tetangga mencoba menenangkanku.

Akhirnya mayat Nurmi berhasil dikeluarkan dari lubang kubur yang dibuat sang dukun, saat itu anggota keluarga dan tetangga mulai panik dan emosi terhadap dukun itu sehingga melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu akhirnya sang dukun mengambil langkah seribu, takut dikeroyok massa.

Tinggallah kami meratapi nasib Nurmi yang telah membujur kaku membusuk menjadi mayat, akhirnya untuk tidak larut dalam kesedihan mayat Nurmi segera difardhu kifayahkan karena tidak mungkin di tahan-tahan lagi mengingat kondisinya yang sudah membusuk.

Beberapa hari kemudian aku mendengar kabar bahwa sang dukun telah ditangkap oleh pihak KPA kemudian deserahkan kepada pihak kepolisian untuk menjalani proses hukum selanjutnya. Tinggallah aku dalam kesedihan yang mendalam karena harus kehilangan anak bungsu yang paling kusayang karena hanya Nurmilah yang selama ini menemani dan merewatku.

Aku hanya bisa berharap semoga dukun itu bisa dijatuhi hukuman yang setimpal atas segala perbuatannya, apalagi di hari yang sama kudengar ada juga seorang anak yang tewas karena menjalani proses pengobatan pada dukun tersebut. Entah ilmu hitam apa yang dipraktekkan oleh dukun tersebut sehingga harus menumbalkan manusia dalam proses pengobatannya. Entahlah aku tidak mau berpikir lagi aku sudah pasrah dan berdoa semoga arwah anakku tenang di alam baqa.***

SUAMIKU MELARIKAN DIRI KARENA TERJERAT UTANG

Dalam mengarungi kehidupan terkadang seseorang harus berjuang dalam keterpurukan dan kemiskinan, dan terkadang penuh kemuliaan dan gelimang harta duniawi dua hal yang kontradiktif memang, tetapi semua itu harus tetap dijalani seorang insani sebagai konsekwensi dari takdir hidupnya. Apapun yang terjadi hidup harus tetap diteruskan walaupun terkadang nasib buruk sering menyapa tetapi keimanan dan kehormatan tetap harus dijaga. Jangan sampai menggadaikan kehormatan dengan segepok harta walau kita sedang kelaparan. Karena kalau hal tersebut digadaikan maka seorang insan tidak lebih seperti hewan.

Marni (sebut saja demikian) adalah sebuah contoh potret buram insan miskin yang hidupnya penuh dengan cobaan dan kesedihan. Karena kemiskinan akut yang diderita rumah tangganya nyaris membuat dirinya gila, karena terjerat hutang piutang dengan orang lain suaminya terpaksa melarikan diri, tragisnya lagi saat suaminya masih dalam pelarian anak sulungnya tewas dalam saluran irigasi tanpa pernah diketahui suaminya. Marni mencoba pasrah terhadap nasib yang menimpanya, karena dia menganggap apa yang terjadi adalah karma yang harus ditanggung sebagai penebus dosanya. Berikut penuturan lengkapnya pada Hamdani dari Tabloid Modus Aceh.

Aku adalah seorang istri dari tiga orang anak yang masih balita, awalnya kehidupan rumah tanggaku cukup bahagia meski kemiskinan adalah bagian keseharian rumah tangga kami, tetapi aku dan suamiku Musa (samaran) cukup pasrah dengan keadaan yang menimpa keluarga kami. Kami menganggap semua itu adalah cobaan dan takdir dari Yang Maha Kuasa yang harus kami terima dengan hati yang tulus ikhlas.

Petaka yang menimpa keluarga kami berawal dari kenekatan suamiku membuka usaha pembuatan batu bata, meski tanpa modal dengan berutang disana sini suamiku berhasil membangun usaha batu bata yang terletak di samping rumah kami. Saat itu usaha batu bata adalah sebuah usaha yang sedang naik daun dan sangat diminati oleh banyak orang di Aceh, maklum Aceh baru saja diguncang bencana tsunami yang maha dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 yang memakan ratusan ribu orang dan meluluhlantakkan ribuan bangunan. Sehingga dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi tentu membutuhkan banyak sekali bahan baku bangunan, salah satunya adalah batu bata.

Awalnya usaha batu bata suamiku berjalan lancar dan mendatangkan keuntungan yang lumayan, sehingga keadaan perekonomian rumah tangga kami semakin membaik, anak-anak yang biasanya berpakaian lusuh dan compang camping sekarang bisalah kami membeli beberapa potong baju baru buat mereka. Aku juga bisa membeli beberapa mayam emas sebagai tabungan sekaligus untuk perhiasan.

Kehidupan terus berjalan, memasuki tahun kedua usaha pembuatan batu bata keadaan mulai tidak normal, bang Musa suamiku mulai sering uring-uringan setiap pulang mengantarkan batu bata ke Banda Aceh, setiap kutanya “Ada apa bang, kok kelihatan murung begitu?”

Sumaiku hanya mendengus dan berusaha menghindar sambil mengatakan, “Ah, gak ada apa-apa, kamu tenang aja urus saja anak-anak dengan baik”. Jawabnya dengan singkat.

Hari-hari rumah tanggaku semakin tidak normal, suamiku sering tidak di rumah uang untuk nafkah rumah tangga memang selalu disediakan tetapi nafkah batin nyaris tidak pernah dipenuhi. Sebagai wanita normal aku menderita juga menghadapi kenyataan pahit ini, dan ini sungguh menyiksa.

Suatu malam Mulyadi (samaran) seorang pemuda yang bekerja di tempat pembakaran batu bata suamiku datang ke rumah untuk menemui suamiku, tujuannya menagih upah yang telah lama tidak dibayar oleh suamiku, setelah kupersilahkan masuk dan kujelaskan bahwa suamiku sudah jarang pulang ke rumah dia nampak kecewa. Aku memahami kekecewaannya tersebut, tetapi aku mencoba memberi pengertian dan dia nampak mengerti. Dari Mulyadi tersebutlah akhirnya kuketahui bahwa berubahnya suamiku akibat terlilit utang penjualan batu bata di Banda Aceh.

Setelah mendengar penjelasan pemuda tersebut aku baru paham terhadap perubahan yang tejadi pada suamiku akhir-akhir ini ternyata akibat terlilit utang. Suatu hari sepulang dari Banda Aceh aku mencoba menanyakan hal itu pada suamiku dia juga mengakuinya. Dia kelihatan resah dan gelisaha menghadapi hal tersebut.

Selang dua hari kemudian suamiku kembali berangkat ke Banda Aceh, katanya mau menagih hutang-hutang yang belum terlunasi, mengenai dapur batu-bata kami nyaris tidak terurus lagi karena kehabisan modal usaha.

Anehnya atau kebetulan setiap suamiku berangkat ke Banda Aceh Mulyadi juga datang ke rumah dengan alasan mencari suamiku, sehingga antara mereka praktis tidak pernah ketemu karena selisih jalan. Karena keseringan ke rumah kami jadi akrab sampai suatu malam di tengah hujan yang lebat dan anak-anak sudah pada tidur entah siapa yang mulai kami larut dalam pelukan setan, dan setan ternyata sangat kuat menggoda kami berdua sehingga dahagaku yang sudah lama tidak terlampiaskan malam ini larut dalam desah nafas jahanam. Tetapi setelah itu kami sangat menyesalinya, berdua kami menangis penuh penyesalan. Dan Mulyadi juga meminta maaf karena telah merusak pagar ayu rumah tangga orang, dan dia juga mengatakan dengan kejadian ini uang upahnya pada suamiku disuruh anggap lunas saja.

Aku sedikit merasa terhina sebenarnya, karena seperti menjual tubuhku untuk melunasi hutang suamiku, tetapi apa dayaku? Karena pada kenyataannya aku juga butuh kehangatan, suatu hal yang sudah sekian lama tidak diberikan suami padaku.

Setelah kejadian itu aku sangat menyesal dan merasa sangat tidak tahu diri, suami sedang dililit masalah aku malah melampiaskan nafsu dengan lelaki lain. Aku merasa diriku sangat egois, tetapi apa daya nasi telah menjadi bubur.

Suatu malam suamiku pulang ke rumah, ternyata kepulangannya kali ini adalah untuk pamit padaku, katanya dia harus pergi dulu untuk beberapa saat untuk menghindari hutang-hutangnya. Dia juga mengatakan kalau tidak pergi akan dihabisi, sehingga suamiku menghadapi ancaman tersebut merasa sangat ketakutan.

Setelah menciumi anak-anak kami dan meninggalkan uang ala kadar suamiku langsung berangkat tanpa memberitahu kemana arah dan tujuan yang dituju. Aku hanya bisa menangis tubuhku terasa linglung sehingga saat melihat suamiku naik ke bus menuju arah timur aku nyaris kehilangan harapan. Ditambah lagi aku belum sempat meminta maaf atas perselingkuhanku beberapa waktu lalu. Sebenarnya bukan tidak sempat meminta maaf tetapi aku tidak berani dan momennya juga tidak tepat untuk itu.

Setelah enam bulan kepergian suamiku yang tidak kutahu kemana, suatu hari petaka menimpa seorang anak sulungku yang berusia 10 tahun, dia hanyut di saluran irigasi desa dan setelah dilakukan pencarian oleh penduduk desa yang merasa simpati dan prihatin akhirnya putra sulungku ditemukan telah menjadi mayat. Menghadapi kenyataan tersebut hatiku nyaris remuk redam, tetapi semua ini harus kutanggung sendiri. Karena untuk membagi dan memberitahu duka ini bersama bang Musa dia juga tidak pernah kutahu entah dimana.

Menghadapi kenyataan pahit ini akal sehatku nyaris tidak bekerja, berhari-hari aku bengong seperti kehilangan harapan dan gairah hidup. Aku berpikir saat itu sudah tidak waras lagi, hanya karena melihat anak-anakku yang masih kecil dua orang lagi kesadaranku bisa kembali. Aku bertekad harus sehat supaya tetap bisa menjaga dan mendidik anak-anakku yang masih tinggal. Tangis bocah kecilku menyadarkan lamunanku saat itu.

Beberapa hari setelah meninggalnya anak sulung kami baru suamiku berhasil terdeteksi oleh seorang tetanggaku melalui HP, setelah diberitahu keesokan harinya bang Musa dengan diam-diam pulang ke rumah. Sesampainya di rumah meledaklah tangisannya dan aku juga larut dalam haru. Beberapa orang tetangga mencoba menenangkan kami dengan memberi pengertian bahwa semua ini adalah musibah dari Allah SWT yang harus disikapi dengan lapang dada.

Aku juga mencoba mengiyakan perkataan tetanggaku tersebut, sekaligus mencoba memahami musibah ini dari sudut pandangku sendiri sebagai lebih dari musibah buatku tetapi sekaligus cobaan dan karma yang harus kutanggung sebagai akibat dari perselingkuhanku. Meski dalam Islam tidak mengenal karma aku mencoba memahaminya begitu. Tetapi satu hal yang masih mengganjal sampai hari ini aku tidak pernah berani meminta maaf kepada suamiku atas perselingkuhanku tersebut. Sampai suatu malam suamiku minta pamit kembali untuk meneruskan pelariannya. Dia berjanji akan kembali kalau sudah ada uang untuk bisa melunasi utang-utangnya. Selamat jalan bang Musa…maafkan daku!***

AKU “GILA” KARENA GANJA

Semua orang tentu tidak menginginkan hidup menjadi pecundang dan tersia dari lingkungan karena dianggap mengganggu dan menjadi sampah masyarakat karena perilaku yang merusak diri dengan hal-hal yang dilarang norma agama dan adat istiadat yang dianut masyarakat. Tetapi keingingan masa muda yang penuh gejolak sulit untuk menepis segala hasrat untuk anti kepada kemapanan.

Hal ini seperti dialami Helmi (sebut saja demikian), diusianya yang baru beranjak 23 tahun harus mengalami pahit getir kehidupan karena harus menjalani terapi di sebuah Rumah Sakit Jiwa karena penyakit jiwa akut yang diderita akibat mengkonsumsi ganja yang berlebihan dan juga setelah menjalani serangkaian terapi akhirnya dia juga dikirim ke sebuah pesantren untuk menjalani rehabilitasi jiwa. Ini lah sekelumit kisah pahit getir penikmat “daun syurga” yang jarang diekpos media, berikut penuturannya kepada Hamdani dari Modus Aceh beberapa waktu lalu.

Aku adalah anak ke-2 dari lima bersaudara, semuanya cowok. Kehidupan kaluarga kami memang tergolong sulit, kedua orangtuaku sering berantem dan ribut melulu sehingga terkadang aku malas pulang ke rumah, Karena pulangpun tidak ada kedamaian, rumah seperti neraka buatku, sehingga aku sering bergabung dengan rekan-rekan sebaya.

Karena keseringan gabung-gabung dengan teman-teman akhirnya aku sudah mulai mengkonsumsi rokok pada usia lima belas tahun, saat itu aku masih bersekolah di kelas tiga SMP. Merokok adalah hal yang membanggakan diusia tersebut, merokok juga sebagai sarana aktualisasi diri untuk menunjukkan eksistensi seseorang biar disebut sudah dewasa. Masalah merusak tubuh dan merusak kesehatan karena merokok sama sekali aku tidak tahu dan tidak mau tahu.

Menginjak bangku SMA aku sudah mulai mencoba-coba menghisap ganja, ada suatu kenikmatan tersendiri yang sulit kulukiskan dengan kata-kata saat menikmati “bakong Aceh” tersebut, sehingga berawal dari coba-coba aku mulai ketagihan untuk mengkonsumsi ganja, apalagi di lingkungan sekitar tempat tinggalku ganja begitu mudah diperoleh, sehingga setiap kubutuhkan “barangnya” selalu ada istilahnya ada duit ada barang.

Lingkungan tempat tinggalku memang terkenal sebagai tempat transaksi ganja, di daerah ini nyaris tidak tersentuh hukum para bandar narkoba juga menjual barangnya dengan cara terang-terangan, tidak ada kesan takut setiap ada orang yang ingin memesan ganja atau sejenis narkotika lainnya. Hal ini wajar kukira karena pihak aparat hukum dalam hal ini polisi juga sering menjadi pelanggan mereka. Kalaupun ada razia gabungan mereka sudah duluan gulung tikar, sepertinya mereka selalu duluan tahu kalau ada razia, sehingga kesannya polisi selalu kalah cepat. Tetapi kukira semua itu hanya akal-akalan saja, seperti di kisah film-film India karena polisi juga merupakan bagian dari jaringan kejahatan itu sendiri sehingga sulit mengungkapkan kejahatan.

Karena sudah mulai ketagihan maka sulit bagiku sehari saja kalau tidak mengisap ganja, barang memang gampang karena stoknya selalu ada, yang jadi masalah aku tidak selalu punya uang untuk membeli ganja yang kubutuhkan tersebut, maklumlah aku belum bekerja karena masih sekolah, ganja yang kubelipun terkadang dari uang jajan yang tidak seberapa. Sehingga karena keinginan yang mendesak terpaksa aku mencuri uang orangtuaku untuk membeli ganja, hal ini sudah kulakukan berkali-kali.

Suatu hari hal ini diketahui oleh orangtuaku, sehingga bapakku ngamuk-ngamuk karena merasa kehilangan uang simpanannya, semua kami anak-anaknya dikumpulkan dan diinterograsi siapa yang mengambil uang. Tidak ada yang mengaku karena memang tidak ada yang merasa mengambil, kecuali aku yang hanya pura-pura tidak mengaku. Akhirnya karena tidak ada yang mengaku semua kami diikat dibatang pohon kelapa di depan rumah, sambil mengancam kalau tidak ada yang mengaku tidak akan dilepaskan sampai keesokan harinya. Maka ketakutanlah kami semua, dan di antara kami jadi saling dan menyalahkan. Akhirnya entah karena kasihan atau tidak sanggup merasa tertekan dan bersalah akupun mengaku kepada kakak-kakaku bahwa akulah yang mencuri uang bapak.

Akhirnya setelah didesak oleh kakakku-kakakku aku mengaku juga kepada bapak, maka semua dilepaskan kecuali aku yang mendapat hukuman tambahan yaitu dilecut lima kali dengan memakai tali pinggang bapakku dan tidak mendapat uang jajan selama seminggu. Perih tak terkira, tapi aku tidak menangis aku malu menagis sebagai anak lelaki.

Karena aku kapok mencuri uang orangtuaku maka aku mulai mencari cara lain untuk mendapatkan ganja, akhirnya aku mulai menjadi agen atau penyalur kecil-kecilan, sehingga dengan menjadi penyalur aku selalu bisa mendapat ganja gratis dari bandar yang besar selain itu dikasih imbalan uang yang lumayan.

Menghadapi kenyataan ini aku sangat gembira, aku semakin larut dan ketagihan dalam mengkonsumsi ganja tidak siang tidak malam aku selalu mengkonsumsi ganja, ke rumah aku sudah jarang pulang sekolahpun sudah jarang masuk dan akhirnya aku benar-benar tidak bersekolah lagi. Orangtuaku juga tidak peduli aku mau pulang atau tidak mereka hanya sibuk dengan dunianya tanpa peduli kapada kami anak-anaknya, sehingga akibat depresi yang berkepanjangan abangku yang sulung nekat meninggalkan rumah. Entah kemana abangku pergi sampai kini aku tidak tahu.

Semakin hari aku semakin terjerumus ke dunia hitam, main judi dan main perempuan menjadi hal yang biasa kulakukan, hal-hal tentang agama nyaris aku tidak tahu sama sekali aku merasa kehidupan ini begitu bebas dan nikmat tanpa ada yang mengekang. Aku merasa benar-benar bebas lepas penuh kemerdekaan.

Aku tidak menyadari bahwa tubuhku semakin ceking nyaris tidak berdaging. Aku juga semakin tidak bisa mengontrol tingkah lakuku, kadang aku tertawa tanpa sadar otakku tidak sanggup kuperintahkan, timbul juga rasa panik tapi aku tidak mengerti dan mulai tidak sadar diri. Sampai suatu hari aku merasa dunia ini sudah gelap, aku tidak punya parasaan apa-apa lagi, mungkin saat itu aku sudah gila.

Sampai suatu hari aku mulai merasa pulih dan aku telah berada bersama dengan orang-orang aneh yang tingkahnya ada yang lucu dan juga yang menjengkelkan. Sulit sekali menjelaskan pengalamanku secara runut atau kronologis pada saat itu, karena aku memang tidak sadar diri. Yang jelas dan aku yakini saat itu aku telah berada di Rumah Sakit Jiwa. Ya, aku telah berstatus orang gila, sungguh perih dan pedih perasaanku menghadapi realitas ini tapi apa daya? Ini adalah kenyataan dari apa yang telah kuperbuat selama ini.

Sampai hari ini aku belum tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan masa laluku, berapa tahun aku berstatus sebagai orang gila. Hidup menjadi orang gila benar-benar bagai dalam mimpi tanpa pernah kita menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saat sadar dunia jadi berubah.

Suatu hari datang pamanku untuk menjemputku, ternyata selama ini yang mengeluarkan biaya untuk perawatanku adalah paman. Dan menurut penuturan dokter kepada paman yang sempat kudengar aku sudah bisa berobat jalan, tetapi harus selalu dikontrol dan obat harus selalu tersedia kalau tidak aku bisa kambuh lagi.

Sesampainya di kampung hasil rembug keluarga aku diantar ke sebuah pesantren untuk mengobati jiwaku secara tuntas dan kalau di pesantren kemungkinan untuk terjerumus lagi ke dunia hitam akan sangat kecil. Kembali pamanku menjadi pahlawan, karena paman mengatakan bahwa akan menanggung segala biaya selama aku berada di pesatren. Alhamdulillah pikirku, karena aku juga punya keinginan menjadi orang baik-baik, aku kapok sekarang.

Suasana pesantren benar-benar membuatku insyaf terhadap kelakuanku selama ini, aku benar-benar merasa dilahirkan kembali. Kadang-kadang tengah malam aku bangun dan sholat tahajjud memohon ampunan Allah atas segala tingkah dan lakuku pada masa lalu yang tidak terarah dan jauh dari agama, apa lagi saat mendengar nasehat dari abon tentang bahaya mengonsumsi ganja dan khamar serta begitu besar dosanya zina aku benar-benar gemetar dan ketakutan. Sehingga aku semakin rajin bersujud dan memohon ampunan Allah, aku tidak yakin apakah saat ini Allah telah mengabulkan permohonanku tersebut, tetapi yang jelas aku akan tetap berdoa dan berdoa. Supaya tingkah laku burukku di masa lalu bisa terampunkan.

Aku juga tidak henti-hentinya berdoa buat kebahagiaan kedua orangtuaku. Terakhir kudengar kabar abang sulungku telah ditangkap di Malaysia karena menjual dadah atau ganja dan terancam hukuman gantung, dan kedua orangtuaku telah bercerai, bapak menikah lagi ibu juga menikah lagi, dan tiga orang adikku terlantar, tetapi kini telah diasuh oleh paman. Aku turut bersedih terhadap cobaan yang menimpa keluargaku tetapi aku tidak berdaya merubahnya, semua adalah takdir Allah seperti aku yang tengah mengikuti arah takdirku. Aku hanya berharap semoga semuanya akan berakhir dan baik-baik saja. Mudah-mudahan kisahku menjadi pelajaran yang berharga dan menjadi ikhtibar buat orang lain, bahwa dunia hitam bukan sesuatu yang indah dan mengkonsumsi ganja hanya akan merusak badan dan merusak jiwa menjadi gila.***

AKU IBU SEKALIGUS AYAH BUAT ANAK-ANAKKU

Menjadi orang tua tunggal buat empat orang putra dan putrinya bukanlah hal yang gampang buat Maryani (samaran), tetapi hal ini harus dijalani juga dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Menurut Maryani anak-anak adalah harta berharga yang ditinggal almarhum suaminya yang meninggal karena dibunuh oleh OTK pada masa konflik dulu. Inilah penuturan lengkap Maryani pada Hamdani dari Modus pada Rabu 26 September 2007 di rumahnya yang terletak di pinggiran Jalan Medan-Banda Aceh pada suatu desa di Kabupaten Bireuen.

Semasa bang Yusri (samaran) masih hidup, kehidupan rumah tanggaku sangat bahagia kami hidup boleh dibilang berkecukupan untuk ukuran kota kecil, karena bang Yusri selain guru yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga merangkap sebagai pengusaha. Sedangkan aku hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi meski begitu aku punya keahlian dibidang jahit menjahit, sehingga praktis aku juga punya penghasilan sendiri meski tidak seberapa.

Kehidupan rumah tangga kami terus berjalan normal, saat itu akhir tahun 2002 aku telah mempunyai tiga orang anak semuanya putri dan sekarang aku sedang mengandung anak yang ke empat. Menutur pemeriksaan dokter janin yang kukandung sekarang adalah laki-laki. Mengetahui hal tersebut bang Yusri sangatlah gembira dan bersuka ria, karena sejak dulu memang dia mengharapkan kehadiran anak laki-laki di tengah keluarga kami. Karena itulah aku sangat dimanjakan bang Yusri, sehingga praktis segala pekerjaan berat dilarang untuk kulakukan, “Bisa membahayakan janin”. Ujarnya selalu.

Di tengah kondisi kedamaian dan kebahagiaan yang melingkupi keluargaku, tetapi tidak demikian dengan kondisi keamanan di Aceh, saat itu kondisi keamanan sedang sangat memanas aku sering membaca koran tentang terjadinya penyerangan-penyerangan dan semua itu membuat aku sedikit cemas. Tetapi suamiku berusaha menetralisir suasana dengan bahasa-bahasanya yang bijak, sehingga hal ini bisa sedikit mengurangi kecemasanku.

Memasuki tahun 2003 keadaan dan situasi semakin memanas, kandunganku saat itu telah memasuki usia tujuh bulanan. Sehingga praktis pergerakanku juga menjadi agak terbatas, nyaris seharian aku hanya duduk di rumah ditemani oleh tiga orang putriku. Seperti biasa suamiku beraktifitas seperti biasa pagi ke sekolah untuk mengajar dan pulang dari tugas mengajar istirahat sebentar langsung pergi lagi untuk mengurus tempat usahanya. Begitulah rutinitas yang dijalani suamiku, sehingga aku yakin suamiku nyaris tidak ada musuh.

Pada suatu hari suamiku pulang dengan wajah lesu, melihat keadaan suamiku yang kusut masai dan tidak biasanya itu aku mencoba bertanya, “Ada apa bang, kok kelihatan pucat?”. Tanyaku cemas, karena naluriku mengatakan pasti ada sesuatu.

“Ah, tidak ada apa-apa mungkin bapak cuma sedikit capak mengurus usaha-usaha kita, apalagi sekarang dengan kondisi konflik begini jangankan mencari untung bisa bertahan saja sudah cukup lumayan”. Ujarnya menjelaskan dengan suara pelan.

Tetapi aku tetap tidak yakin dengan jawaban yang diberikan, naluriku sebagai wanita mengatakan pasti ada sesuatu yang disembunyikan suamiku, “Tapi ada hal yang abang sembunyikan, ada apa bang?” Dugaku.

Dengan suara berat akhirnya bang Yusri menceritakan bahwa sudah beberapa kali sekelompok orang yang menamakan dirinya kelompok pejuang yang meminta Pajak Nanggroe dan jumlah dana yang diminta gila-gilaan, sementara kondisi perusahaan saat itu juga sedang kacau karena tidak lancarnya distribusi barang, jangankan memenuhi permintaan terhadap Pajak Nanggroe mempertahankan kelangsungan perusahaan juga nyaris tidak sanggup. Tetapi alasan ini tidak bisa mereka terima.

Masih menurut cerita bang Yusri, belum habis masalah dengan Pajak Nanggroe datang pula sekelompok pasukan pemerintah dari sebuah kesatuan yang dikenal yang meminta upeti, mungkin ini hanya oknum tetapi kalau permintaan mereka tidak dipenuhi resikonya juga sama dengan tidak memenuhi Pajak Nanggroe. Kondisi tersebut sungguh dilematis, bahwa kedua kelompok yang sedang bertikai tersebut selalu berkoar-koar bahwa keberadaan mereka untuk melindungi kepentingan masyarakat tetapi faktanya malah untuk menyengsarakan rakyat.

Akhirnya di tengah kondisi yang menghimpit tersebut, pada suatu malam datang sekelompok orang yang tidak dikenal menjemput suamiku di rumah, dengan penuh arogan dia menggedor-gedor pintu rumah kami, sehingga anak-anak kami beringsut di pojok kamar dengan wajah ketakutan. Aku juga sangat ketakutan karena sering kudengar cerita kalau ada orang yang menjemput seseorang di tengah malam seperti itu maka resikonya adalah kematian, dan kejadian tersebut menimpa keluargaku malam ini. Memikirkan hal tersebut dalam kecemasan yang luar biasa nyaris aku terkencing-kencing. Suamiku juga nampak pucat dan tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya, kami hanya mampu saling memandang tanpa mampu bersuara.

“Buka! Buka pintu!” Ujar suara dari luar sambil menggedor pintu dengan keras.

Setelah beberapa kali digedor-gedor akhirnya suamiku memberanikan diri untuk membuka pintu, selintas aku sempat melihat orang-orang di luar kuperkirakan sekitar lima orang dengan memakai penutup wajah sebo. Setelah pintu dibuka tanpa basa-basi aku melihat suamiku langsung dirangkul keluar. Sekilas suamiku masih sempat melihat dengan pasrah ke arahku dan ke arah tiga putri kami. Ternyata itu adalah tatapan terakhirnya.

Setelah dengan penuh harap-harap cemas menantikan kepulangan sumaiku malam itu, ternyata sampai paginya bang Yusri tidak pernah kembali. Besoknya terjadi kehebohan yang luar biasa di kampung kami, ternyata ada sesosok mayat ditemukan banyak bekas bacokan di badannya. Masya Allah! Ternyata mayat itu adalah mayat bang Yusri. Tega benar orang-orang tersebut membuat anak-anakku menjadi yatim, dan anak yang ada dalam kandunganku malah tidak sempat mengenal ayahnya. “Tega benar”. Ujarku membatin. Hari itu juga suamiku dikebumikan.

Setelah kepergian suamiku praktis kehidupan rumah tanggaku menjadi pincang, siap tidak siap aku harus menjadi orang tua tunggal, sementara kandunganku tinggal menunggu hari. Kujalani hari-hari dengan penuh kepahitan dan kegetiran, sebagai manusia ada rasa dendam tetapi rasa itu berusaha kutepiskan, walaupun ada kepada siapa akan kulampiaskan dendam tersebut? Toh aku tidak tahu siapa yang tega membunuh suamiku, yang aku tahu suamiku dibunuh oleh OTK, tetapi siapa OTK itu?

Sampai tibalah saatnya aku melahirkan, dan dengan dibantu oleh bidan yang ada di desaku aku melahirkan anak yang ke empat. Alhamdulillah! Lancar-lancar saja persalinanku, dan ternyata sesuai dengan prediksi dokter anak yang kukandung adalah laki-laki. Saat itu perasaanku gembira mendapatkan anak laki-laki sekaligus sedih karena bang Yusri tidak sempat melihatnya lagi, padahal dia sangat mendambakan anak laki-laki. Saat itu untuk menghibur hatiku aku hanya berpikir mungkin bayi laki-laki ini adalah hadiah terindah terakhir yang diberikan bang Yusri buatku. Alhamdulillah! Aku akan menjaga anak ini sebagai amanah dari almarhum suamiku.

Empat tahun lebih sudah bang Yusri pergi dari hadapan kami, masih tersisa kenangan yang terlalu indah untuk kulupakan, kini anak laki-laki yang diidam-idamkan telah berusia hampir lima tahun, dia tumbuh sebagai anak yang gembira sedangkan tiga putriku sudah menginjak remaja. Aku harus tetap tegar sebagai orang tua tunggal agar anak-anakku tidak tumbuh menjadi anak yang minder dan berjiwa rapuh, kalaupun aku harus menangis bila kadang-kadang terkenang akan almarhum suamiku maka hal itu tidak akan pernah kulakukan di depan anak-anakku supaya mereka tidak ikut berduka. Biarlah derita jiwa ini kutanggung sendiri.

Untuk menghidupi rumah tanggaku selain mengandalkan uang pensiunan sumiku yang sisanya juga sudah tidak seberapa karena aku telah mengambil uang di bank untuk modal usaha, aku juga menerima pesanan jahitan dari beberapa orang tetangga yang sudah mengatahui tentang keahlianku tersebut. Hal yang menggembirakan adalah ketiga putriku juga sudah bisa membantuku dalam hal menjahit sehingga praktis bisa sedikit menolong pekerjaanku dan menambah penghasilan keluarga.

Dengan kesibukan kami tersebut, apalagi menjelang hari raya Idul Fitri yang omset jahitannya sangat banyak bisa sedikit melupakan segala kepahitan hidup, hanya kadang-kadang aku sering terkenang pada saat waktu berbuka puasa telah tiba, seandainya bang Yusri masih ada lengkap sudah kebahagiaan ini melingkupi keluarga kami. Tapi, inilah takdir manusia hanya bisa merencanakan tetapi Tuhan tetap punya kuasa. Anak-anakku kelihatan juga sangat tegar, mereka tetap bisa tersenyum layaknya anak-anak sebaya mereka, mungkin di usia belia mereka sudah sangat memahami takdir. Entahlah.***

KONFLIK MEMBUAT ANAKKU MENJADI YATIM

Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut adalah suatu takdir Allah swt yang tidak bisa kita elakkan, meski terkadang sebagai manusia kita merasa sangat berat untuk menerima takdir yang menimpa kita, tapi Tuhan Maha Tahu Segalanya, mana yang terbaik yang harus terjadi untuk manusia, meski terkadang sangat pahit untuk menerimanya. Seperti kisah berikut ini, yang dituturkan oleh Icut (sebut saja demikian) kepada Hamdani dari Tabloid Hukum dan Politik Modus, berikut ini.

Kisah ini kumulai dari saat aku masih duduk di bangku kuliah di ibu kota Provinsi, yaitu kota Banda Aceh, aku kuliah di Jurusan Ekonomi dan mengambil Program Diploma III, di salah satu Perguruan Tinggi Swasta STIE yang merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang cukup ternama di kota Provinsi tersebut. Hari-hari kulalui dengan penuh kegembiraan dan wajar-wajar saja sebagimana para mahasiswa lainnya, masalah uang biaya kuliah juga tidak terlalu bikin aku pusing, karena keluargaku cukup mampu untuk membiayai segala kebutuhan kuliahku. Aku adalah anak tertua dari lima bersaudara, adikku satu orang cewek dan tiga orang cowok. Meski tidak bisa dibilang kaya raya tetapi orangtuaku termasuk orang yang cukup berada di salah satu kota kecil di Kabupaten Bireuen.

Hari-hari kulalui di kota Banda Aceh dengan penuh riang gembira sebagaimana remaja-remaja lain seusiaku, aku juga berpacaran sebagaimana umumnya remaja yang lain, dan pacarku tersebut adalah orang yang sekabupaten denganku, yaitu Kabupaten Bireuen, istilahnya orang sekampung lah, sebut saja namanya Bang Boy (nama samaran). Kebetulan juga Bang Boy kuliah di Perguruan Tinggi yang sama denganku. Bang Boy orangnya sangat baik, meski tidak terlalu ganteng, karena Bang Boy orangnya hitam dan aku putih (kata teman-temanku aku cukup cantik), tapi Bang Boy orangnya cukup baik. Dia adalah lelaki yang lembut dan penuh pengertian, sebenarnya benih-benih cinta telah mulai tumbuh di hati kami berdua saat kami hampir menamatkan bangku Sekolah Lanjutan Atas, kebetulan kami satu sekolah di Kabupaten Bireuen. Sampai akhirnya ternyata kami bertemu di Kota Banda Aceh dan kuliah di perguruan tinggi yang sama, terasa semuanya memang serba kebetulan.

Ternyata Bang Boy adalah orang yang cukup menepati janji, karena tidak lama setelah aku menamatkan kuliah, dia datang meminangku pada orangtua, tanpa halangan yang berarti dari kedua belah pihak keluarga kami, yang juga menyetujui hubungan kami selama ini, semuanya memang lancar-lancar saja, kupikir karena memang ini sudah jodohku. Karena setelah itu kami telah bertunangan, usia pertunangan kami memang tidak begitu lama, karena selang beberapa bulan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak keluarga, kami melangsungkan perkawinan.

Sampailah pada saat hari yang paling bersejarah dalam hidupku, yaitu hari pernikahanku. Semua lancar-lancar saja, tidak ada kendala yang berarti. Aku tersenyum sumringah menatap Bang Boy yang kini telah jadi suamiku. Duh, suami. Terasa masih canggung, tetapi itu adalah hal yang wajar dalam suatu kehidupan, hal-hal baru akan terasacanggung. Tapi nanti semuanya akan jadi biasa saja seiring dengan perjalanan waktu.

Tidak lama usia perkawinanku, aku telah merasa ada gejala lain dalam perutku, aku hamil. Sungguh, saat itu merupakan suatu kebahagiaan yang sangat besar buat aku dan Bang Boy, kami bersyukur cepat diberi momongan oleh Tuhan. Aku bertekad akan menjaga kandunganku dengan baik, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada kandunganku, dan Bang Boy juga sangat memperhatikanku, serta sangat memanjakanku, dan Bang Boy akan sangat marah kalau aku bekerja cukup keras, karena dia sangat mencemaskan kandunganku akan terganggu karenanya, sekali lagi aku sempat bersyukur mempunyai seorang suami yang baik. Aku bangga dan bahagia menjadi istri Bang Boy.

Tidak terasa usia kandunganku telah memasuki bulan kesembilan, aku dan Bang Boy telah mempersiapkan segala hal yang berhubungan untuk menyambut kelahiran bayi pertama kami, aku dan Bang Boy harap-harap cemas menunggu hari kelahiran tersebut, terutama aku, kadang-kadang aku sangat cemas, maklum ini adalah pengalaman pertama melahirkan, tentu perasaan cemas seperti ini dirasakan juga oleh setiap wanita lain yang akan melahirkan, tetapi Bang Boy selalu mendampingiku dan membesarkan hatiku, sehingga aku merasa damai berada di sisi Bang Boy. Tiba saatnya melahirkan, akhirnya aku melahirkan seorang bayi laki-laki, dan wajahnya sangat mirip dengan Bang Boy, dan kulihat wajah Bang Boy sangat bahagia, sehingga aku juga turut bahagia, ini hadiah cintaku buat Bang Boy.

Saat usia anakku hampir setahun, konflik di Aceh mencapai puncaknya, yaitu sekitar tahun 2001 dan 2002, rasa damai dan aman yang selama ini kami nikmati terasa musnah, yang ada hanya rasa cemas yang menghantui pikiran. Konflik bersenjata antara GAM dan TNI/Polri tengah memuncak saat itu, sering terjadi kontak tembak antara gerilyawan dengan aparat keamanan, mereka kedua belah pihak yang tengah bertikai tersebut saling mengklaim kemenangan dan keberhasilan dalam pertempuran masing-masing menurut versi mereka, tetapi rakyat yang seharusnya dilindungi tetap menjadi korban dan terasa terjepit di antara dua kekuatan besar, hampir terasa tidak punya pilihan saat itu.

Di depan rumah orangtuaku ada pos aparat keamanan, sering beberapa kali pos itu diserang oleh gerilyawan bersenjata, sehingga membuat aku dan Bang Bob yang saat itu masih menumpang di rumah keluargaku merasa cemas dan tidak nyaman, aku dan Bang Boy sangat mencemaskan putra kami. Oleh sebab itu, akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke Kota Lhokseumawe.

Hidup di Lhokseumawe terasa lebih nyaman, setidaknya urat-urat syaraf bisa sedikit kendor, ketegangan sedikit mereda. Aku bisa sedikit bernafas lega, setidak-tidaknya bisa membesarkan putraku dengan perasaan tenang, dan tidak terlalu cemas seperti yang kualami seperti di kota kecilku. Saat itu aku telah kembali mengandung anak keduaku, dan usia kandunganku telah mencapai tujuh bulanan. Sampai tiba pada suatu hari aku dan Bang Boy harus pulang ke kotaku, karena ada sedikit acara keluarga. Ternyata keputusan pulang ke kotaku ini lah yang telah mengubah perjalanan hidupku, dan hal ini sangat kusesali hingg kini, walau aku percaya takdir tetapi ini terasa sangat menyakitkan. Sungguh! Sangat menyakitkan.

Hari yang mengubah jalan hidupku dan rumah tanggaku adalah hari Jumat di tahun 2003, aku masih ingat saat itu aku dan Bang Boy telah dua hari berada di rumah orangtuaku, rencana sore hari kemarin kami akan berangkat pulang kembali ke Lhokseumawe karena urusan keluarga sudah beres kemarin. Tetapi, itu lah takdir, kami memutuskan untuk pulang besok (maksudnya hari Jumat). Waktu menjelang Sholat Jumat, Bang Boy pamit untuk pergi Sholat Jumat ke Mesjid yang tidak jauh dari rumahku, dengan mengenderai sepeda motor butut milik adikku, ternyata pamit Bang Boy saat itu adalah pamitnya yang terakhir, karena setelah bubaran Sholat Jumat Bang Boy tewas ditembak oleh OTK, dia memang agak telat pulang ke rumah setelah bubaran Jumat karena harus ke toko obat dulu untuk membeli Vitamin C kepada putra kami. Tiga peluru telah bersarang di tubuhnya, menurut keterangan orang-orang Bang Boy tewas di tempat saat itu.

Hatiku terasa hancur mendengar kabar Bang Boy meninggal, duniaku terasa gelap, siapa mereka-mereka yang tega-teganya memisahkan seorang putra dengan bapaknya?. Siapa mereka sehingga merasa sangat berhak untuk membuat seorang anak yang masih berada dalam kandungan untuk tidak sempat melihat bapaknya? Sungguh kejam, mereka tidak berperikemanusiaan, apakah mereka tidak membayangkan bagaimana seandainya hal ini menimpa keluraga-keluarga mereka? Apakah mereka pantas menggantikan peran malaikat pencabut nyawa? Padahal, tangan-tangan mereka selama ini selalu berlumur darah orang-orang yang tidak berdosa. Sehingga seorang anak menjadi yatim.

Saat melihat suamiku yang telah tewas berlumuran darah, saat aku dan beberapa orang keluargaku untuk menjemput jasad pria yang kucintai yang saat itu yang telah tergelatak di pasar, tidak ada orang yang berani menolong, dadaku terasa sesak, aku nyaris pingsan. Tapi, aku harus tegar agar bisa melihat suamiku dan ikut merasakan penderitaan yang dirasakan olehnya, walau terasa sangat berat mempertahankan keseimbangan tubuh aku tetap berusaha untuk tidak jatuh.

Akhirnya aku tetap bisa kelihatan tegar pada orang-orang, meski sebenarnya hatiku telah terasa remuk. Hati siapa yang tidak hancur, melihat suami yang dicintainya telah tewas berlumuran darah karena dibunuh oleh orang-orang yang katanya pejuang untuk rakyat dan pembela rakyat itu, padahal baru dua jam yang lalu Bang Boy masih segar-bugar saat pamit padaku untuk pergi Sholat Jumat, bahkan sebelumnya masih sempat bercanda denganku dan dengan putra pertama kami dan mengecup keningku sabagai tanda sayang, itulah kecupan terakhir sebagai tanda perpisahan dari Bang Boy. Tiba-tiba dia pulang telah menjadi mayat. Duh...selamat jalan Bang Boy, kekasih hatiku, cintaku...Aku akan berjanji akan membesarkan anak-anak kita sendiri. Sanggupkah?

Sepeninggal Bang Boy hari-hari yang kulalui terasa hambar, hidupku terasa sepi. Tapi aku tidak mau kehilangan semangat dan harapan, karena aku harus membesarkan dua putra buah cintaku dengan Bang Boy, meskipun hatiku hancur mereka harus tetap tegar, agar hidup mereka tetap bersemangat. Banyak pria yang bersimpati dan ingin melamarku, tapi semua kutolak, aku tidak ingin mengkhianati cinta Bang Boy, aku nggak tega. Biarlah aku hidup sendiri dulu.

Sampai suatu hari ada seorang pria hadir dalam kehidupanku, sebenarnya perkenalanku dengan pria ini juga terjadi secara kebetulan, sebut saja namanya Bang Anto. Kehadirannya dalam kehidupanku karena keisenganku juga, saat itu ada seorang siswaku yang agak akrab denganku (saat ini aku telah menjadi seorang guru honorer) ingin pergi ke kota Medan dia bertanya padaku, ”bu, saya bawa oleh-oleh apa bu?” Lantas aku menjawab, ”saya jangan bawa oleh-oleh apa-apa, tapi kamu cariin suami lah buat ibu” kataku bercanda dan iseng-iseng. Tapi keisenganku ini ternyata ditanggapi serius oleh siswa tersebut, dia memberikan nomor handphone ku pada abangnya yang berada di kota Medan tersebut. Maka terjalinlah komunikasi di antara kami, pertama hanya saling SMS- SMSan akhirnya telepon-teleponan, ternyata Anto semakin serius.

Akhirnya Bang Anto pulang ke Aceh khusus untuk berjumpa denganku, perkenalan pertama meninggalkan kesan yang mendalam di hati kami berdua. Aku juga bingung saat itu, entah perasaan apa yang ada saat itu di hatiku tehadap Bang Anto, yang jelas aku merasa simpati padanya, tetapi aku juga merasa berdosa dan mengkhianati Bang Boy. Aku bingung dan aku sedikit gamang. Tapi aku harus realistis, aku dan anak-anakku butuh pelindung. Ternyata hari demi hari perjalanan kisah-kasihku dengan Bang Anto semakin serius, diapun berjanji mau menerimaku apa adanya, termasuk anak-anakku untuk menjadi bagian dari hidupnya. Aku tersentuh, dan aku terenyuh. Maka akhirnya aku menerima kehadiran Anto dalam hidupku.

Saat aku memutuskan menerima pinangan Bang Anto, aku pergi ke pusara bang Boy, aku bersimpuh di pusara Bang Boy, aku mohon maaf, bukan aku tidak setia...! aku menangis, bagiamanapun Bang Boy adalah lelaki yang sangat kucintai, tidak ada lelaki lain yang akan menggantikan Bang Boy di hatiku, tetapi aku akan memberikan bagian hatiku yang lain untuk Bang Anto. Aku ingin Bang Anto jadi yang terakhir buatku, mudah-mudahan keputusanku ini adalah keputusan yang benar, keputusanku ini juga karena aku sangat sayang pada anak-anakku, aku ingin mereka menjadi seperti anak-anak orang yang lain, punya ayah dan ibu, dan supaya mereka juga punya pelindung.****

GARA-GARA SMS RUMAH TANGGAKU NYARIS BERANTAKAN

Kemajuan teknologi pada dasarnya adalah positif, yaitu untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya, tetapi kemajuan teknologi tanpa dibarengi oleh kemampuan beradaptasi dan benteng keimanan yang kuat akan menjadi negatif dan berbuah petaka buat manusia itu sendiri. Salah satunya adalah kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi seperti handphone, yang sering membuat pemakainya yang iseng akan menjadi bumerang dalam kehidupannya, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Satria (bukan nama sebenarnya), kepada Hamdani dari Modus di sebuah pondok rujak di Pantai Ujung Blang Lhokseumawe pada suatu sore yang cerah, berikut penuturannya.

Rumah tanggaku adalah sebuah rumah tangga yang bahagia, walau tingkat perekonomian keluargaku pada masa awal-awal berumah tangga boleh dibilang hanya pas-pasan, nyaris morat marit untuk mencukupi segala kebutuhan rumah tanggaku, tetapi aku tetap semangat dan optimis. Aku hanya seorang Pegawai Negeri Sipil yang tidak mempunyai jabatan apa-apa yang bisa menambah sumber penghasilan di luar gaji pokok dan penghasilanku hanya dari gaji, yang itupun tersisa kurang dari setengahnya karena harus dipotong kredit bank. Untuk mencukupi segala kekurangan dalam rumah tanggaku, terpaksa aku bekerja serabutan apa saja di luar jam dinas, bahkan kadang-kadang terpaksa bolos pada jam dinas, kalau tidak begitu bisa-bisa keluargaku tidak makan.

Saat aku baru mempunyai satu orang anak, aku memutuskan untun membangun sebuah rumah. Walau hidup serba kekurangan dengan uang yang pas-pasan dan modal nekat, aku memutuskan untuk hidup mandiri, karena selama ini aku tinggal dengan mertua, walaupun tidak ada tanah untuk pertapakan rumah, karena tidak ada tanah warisan keluarga yang kupunyai aku tetap nekat, hidup dalam kemiskinan kalau tidak jadi orang frustasi pasti jadi orang nekat. Dengan dibantu oleh kakak dan abangku serta dari pihak keluarga istriku aku berhasil membangun sebuah rumah mungil di atas tanah sewa, saat itu mulai terasa kebahagiaan hidup berumah tangga karena sudah mandiri, walau selalu penuh kekurangan.

Awal-awal hidup mandiri itulah aku merasakan beban berat sebagai seorang suami, yang harus membanting tulang untuk mencukupi segala kebutuhan anak dan istri. Tetapi yang paling kukagumi walau penuh dengan kekurangan istriku tetap sabar dan setia, padahal dia berasal dari keluarga yang lumayan mampu. Berkeluh kesah pasti ada, dan itu wajar dan manusiawi sekali, tetapi masih dalam tahap yang bisa ditolerir. Hari-hari kukayuh bahtera rumah tangga dengan susah payah tapi dengan tekad dan optimisme yang tinggi, dengan keyakinan suatu saat pasti akan berlabuh di dermaga bahagia.

Memasuki tahun kedua kami tinggal mandiri, jalan terang mulai nampak. Berbekal keahlian menulis dan modal komputer Pentium I yang kalau di Singapura mungkin sudah dimusnahkan karena dianggap sampah teknologi dan sedikit nekat, aku mengambil upahan membuat skripsi, tahap pertama aku mengambil dua buah skripsi. Sukses! Dan aku mendapakan jerih yang lumayan untuk itu. Karena merasa diri sudah mampu pada tahap berikutnya aku mengambil 10 skripsi sekaligus, lagi-lagi karena nekat. Dalam perjalanan waktu aku sempat kelimpungan juga mengejar target skripsi yang membludak ditambah order skripsi lain yang terus berdatangan, total skripsi yang kubuat saat itu jadi 23 skripsi dalam satu periode. Ini luar biasa kukira, bahkan ada mahasiswa yang marah-marah karena skripsinya tidak siap sesuai target. Tetapi akhirnya sukses juga, naik sidang juga semua.

Dari uang hasil order skripsi tersebut, dan penghasilan lain-lain dari kerja serabutan akhirnya kahidupan rumah tangga ku mulai membaik dan tegar, dermaga kebahagiaan mulai nampak di depan mata. Bahkan dari uang bikin skripsi tersebut dan ditambah uang dari sumber lainnya aku bisa beli tanah di luar kota untuk bekal membangun rumah kelak.

Petaka pada rumah tangga ku mulai datang, berawal dari keisenganku sms-smsan, setiap sms yang masuk pasti kubalas dan kutanggapi, penuh dengan kata-kata rayuan. Didukung pula oleh keahlianku dalam menulis dan mempermainkan kata-kata, kena deh hampir setiap cewek. Aku juga tidak pilih-pilih orang, entah orang iseng atau serius pasti kubalas kalau ada pulsa. Banyak juga cewek-cewek yang kukenal lewat sms dan buat janjian ingin jumpa. Tapi satu hal, aku tidak pernah mau ketemu, selalu saja ada alasan untuk itu.

Satu yang membuat aku tidak ingin ketemu setiap janjian karena aku takut dan juga tidak ingin selingkuh, aku hanya iseng saja sms-smsan untuk menghilangkan suntuk itu saja tidak lebih. Karena sering ada pesan-pesan sms mesra dari wanita lain, aku selalu menjaga HP ku dari kemungkinan dibacanya pesan masuk oleh istriku. Tetapi seperti kata-kata bijak, sepandai-pandainya tupai melompat sekali-kali pasti jatuh juga. Pada suatu hari, aku ingat betul hari itu hari Jumat, aku pergi Jumatan dan HP kutinggalkan di rumah, sialnya hari itu aku lupa menghapus sms dari kotak berita terkirim, yang berisi kata-kata yang bunyinya kira-kira, ”Hai cinta...pa kabar, kapan kita bisa ketemu...dst.” Sialnya pula hari itu istriku sempat membaca pesan tersebut.

Pulang dari Jumatan ada perubahan sikap dari istriku, dia tidak mau ngomong seperti biasanya. Naluriku berkata pasti ada sesuatu, aku langsung curiga pasti jangan-jangan istriku sempat membaca pesan-pesan sms yang ada di HP ku. Setiap kutanya tetap tidak mau jawab, sampai akhirnya sikap dimanya itu terbongkar, ”Memang benar saya sempat baca sms kamu bang, baguslah kalau abang sudah punya pacar baru.” Katanya judes sambil menyindirku.

Kupikir saat itu aku tidak perlu merespon ucapan istriku, apapun kata-kataku dalam upaya pembelaan diri bakal tidak mempan, keadaan sedang panas, tensi sedang tinggi. Lebih baik aku diam, hanya satu kata-kata yang kelaur dari mulutku, ”Itu tidak seperti yang kamu pikirkan, aku hanya iseng, lagian yang kusebut cinta itu hanya anak-anak yang baru berumur 10 tahun.” Ujarku. Tetapi siapa peduli? Istriku tidak akan mau mendengar kata-kataku saat itu.

Besoknya keadaan tidak semakin membaik, pagi-pagi dia sudah sms aku, katanya mau pulang ke tempat orangtua dulu selama dua minggu, untuk menenangkan pikiran dan untuk memberikan kesempatan kepadaku untuk berpikir. Aku tidak terima alasan tersebut, aku tidak mengizinkan dia pulang ke rumah orangtuanya. Kalupun dia bersikeras pulang aku hanya mengizinkan dia untuk menginap dua hari. Aku sempat panik, dan ini gila pikirku gara-gara keisenganku rumah tangga yagn capek-capek kubina nyaris hancur.

Akhirnya istriku nekat pulang juga ke rumah orangtuanya, aku pikir biarlah istriku juga perlu merenung. Aku juga salah dan aku juga sudah minta maaf. Tetapi belum semalam istriku menginap di rumah orangtuanya, dia sudah meminta aku untuk menjemputnya, katanya si kecil anak kami rewel minta pulang. Alhamdulillah! Kupikir ini awal yang baik, komunikasi sudah mulai jalan lagi.

Besoknya keadaan semakin membaik saja, komunikasi sudah lancar, dan dia nampaknya sudah memaafkanku. Karena pada dasarnya aku tidak selingkuh tetapi hanya iseng saja melalui sms, yang akhirnya kusadari ini tidak baik buat aku yang sudah berumah tangga, tidak masanya lagi tebar pesona.

Setelah kejadian tersebut, aku benar-benar kapok dan semua nomor HP yang tidak jelas, kuhapus semua, aku tidak ingin berurusan lagi dengan masalah-masalah yang tidak jelas begini, karena hanya akan menghabiskan energi dan daya kreatifitas, lebih baik aku bekerja dan mencurahkan pikiran buat masa depan keluargaku. ”Hampir saja gara-gara sms rumah tanggaku hancur dan jadi berantakan,mudah-mudahan kisah hidupku ini bisa jadi pelajaran, bahwa keisengan tidak ada gunanya.” Ujar Satria ramah sambil menutup pembicaraan dengan Hamdani dari Modus.***

ANAKKU TEWAS DI NEGERI ORANG

Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut adalah merupakan takdir Allah yang tidak bisa dipungkiri dan di luar kehendak manusia, tetapi bila sebab-sebab takdir tersebut sangat mencurigakan manusia, maka akan menjadi suatu hal yang mengganjal perasaan karena curiga dan membangkitkan kesedihan pada keluarga yang ditinggalkan, seperti halnya kematian yang menimpa Nurbaiti salah seorang TKI yang tewas di Malaysia yang dilaporkan oleh majikannya akibat jatuh dari lantai enam apartemen majikannya. Perasaan seperti ini pula yang dialami sekarang oleh T. Ibrahim Dzaini (63) yang merupakan orangtua kandung Nurbaiti, yang menceritakan kepedihan hatinya kepada Hamdani dari Tabloid Modus Aceh pada Kamis 28 Februari 2008, berikut kisah lengkapnya.

Sampai hari ke 22 kematian anakku (hari ini) aku merasa sebagai orangtua yang malang karena tidak mampu membahagiakan anak-anakku, terutama Nurbaiti yang telah menjadi korban di negeri orang karena kemiskinanku. Kemiskinan lah yang membuat Nurbaiti harus pergi dari jauh dari kampung halaman untuk mengumpulkan Ringgit demi Ringgit di Malasia yang tujuannya untuk membeli sepetak tanah sebagai tempat membangun rumah, yang sampai detik ini belum mampu aku penuhi. Bukan maksudku untuk mengekploitasi anak-anakku, tapi takdir lah yang membuat semuanya harus begini, aku juga sama seperti orangtua-orangtua lainnya di atas dunia ini yang ingin membahagiakan anak-anaknya dengan kemewahan, tapi di usia rentaku sekarang aku belum sanggung dan mungkin tidak akan sanggup lagi mengumpulkan sisa-sisa Rupiah, karena di sisa usiaku ini aku hanya tinggal menunggu ajal menjemputku bila telah tiba saatnya nanti.

Ternyata harapan Nurbaiti hanya tinggal harapan bukannya Ringgit Malaysia yang dikirimkan tetapi peti kematiannya lah yang dikirimkan majikan kepada kami, Nurbaiti dikabarkan oleh majikannya tewas karena jatuh dari lantai enam apartemen mereka akibat mencoba melarikan diri dari lantai enam apartemen majikannya pada suatu malam dengan cara menyambung kain demi kain, yang tragisnya satu dari rangkaian kain-kain tersebut putus akibat kainnya sudah usang dan tidak mampu menahan bobot tubuh Nur yang lebih dari 60 kilo. Mungkinkah? Naluriku sebagai orangtua sangat meragukan keterangan dari majikan Nur yang disampikan lewat selembar surat tersebut, apalagi hari-hari terakhir sebelum meninggalnya Nur tidak pernah menceritakan sedang ada masalah, dia hanya mengabarkan akan kawin lagi dengan seorang pria pujaan yang merupakan seorang duda dari Jawa Tengah. Jadi kalau tanpa ada masalah kenapa dia tiba-tiba harus berpikir untuk melarikan diri dari rumah majikannya? Yang menurut keterangan majikannya sangat menyayanginya dan telah menganggap anakku Nur sebagai saudara.

Nurbaiti dalam kehidupan di dunianya memang tidak pernah singgah kebahagiaan, sebelumnya Nurbaiti telah menjanda setelah bercerai dengan suaminya yang berasal dari Cirebon, dari perkawinan pertamanya tersebut dia telah dikarunia seorang anak laki-laki. Tapi tragisnya anaknya tersebut pada tahun 2003 yang lalu diusianya yang baru beranjak enam tahun pergi menghadap khalik dengan menggenaskan akibat kecelakaan lalu lintas. Tragisnya saat itu Nur tidak sempat melihat kepergian terakhir anak semata wayangnya karena sedang berjuang mencari rezeki di negeri orang sebagai pembantu di rumah majikan yang bernama Ella. Saat itu adalah tahun pertama Nur di Malaysia yang berkerja sebagai pembantu rumah tangga, dia pergi tahun 2002.

Setelah kematian anak semata wayangnya Nur sempat pulang ke kampung untuk berkumpul dengan kami keluarga besarnya, tapi karena dasar sudah biasa enak mencari rezeki di luar negeri, maka tidak lama setelah tsunami menerjang Aceh pada akhir tahun 2004 dia berangkat lagi ke Malaysia untuk kembali menjadi TKW, meski berat tapi kami tetap mengizinkan dia untuk mencari rezeki jauh di rantau orang, dan dengan harapan bisa sedikit menghibur hatinyanya yang sedang terluka akibat ditinggal pergi anaknya laki-laki kesayangannya.

Sekitar tiga tahun kepergiannya untuk kali kedua kalinya ini, awal tahun 2007 dia kembali pulang ke Aceh, dan dengan sedikit membawa rejeki yang direncanakan untuk membeli sepetak tanah untuk bekal membangun rumah, saat itu Nur mengatakan kepadaku untuk tidak balik lagi ke Malaysia dan dia sudah lelah ingin mencoba membangun hidup baru di kampung halaman sendiri.

Tetapi tekadnya untuk tidak balik lagi ke Malaysia akhirnya kandas oleh bujukan mantan majikan yang memintanya untuk balik ke Malaysia, saat itu mantan majikannya menelpon Nur berkali untuk meminta kesediaan Nur supaya mau balik ke Malaysia. Tapi Nur saat itu mencoba untuk bertahan dengan tekadnya, dengan meminta pertimbangan dari aku apakah dia harus balik atau tetap bertahan di kampung halaman. Saat itu aku tidak tahu harus bilang apa, semua keputusan kuserahkan kepada Nur, memang aku menyarankan supaya Nur untuk tidak balik lagi tapi segala keputusan ada di tangan Nur, karena kupikir Nur sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan dalam hidupnya.

Tetapi akhirnya Nur memang betul-betul balik ke Malaysia, dan aku sebagai orangtua walaupun berat hati tetap mengizinkan Nur untuk berangkat kembali sebagai TKW ke Malaysia. Tapi, tidak kusangka kepergiannya yang ketiga kali ini adalah juga merupakan kepergiannya yang terakhir, karena setelah beberapa bulan kepergiannya ini aku mendapat kabar tentang kematiannya dari sang majikan.

Setelah melihat jenazah anakku yang dikirim dari Malaysia ini aku merasa sangat terenyuh, hati orangtua mana yang tega melihat jenazah anaknya dalam kondisi tragis begini? Ya, jenazah Nur memang dalam kondisi yang sangat mengenaskan, pergelangan dan siku patah sampai keluar tulangnya, kemudian dari kepala membiru tepatnya di dahi seperti terkena benda keras dan terdapat pula bekas jahitan. Yang menyakitkan hatiku sebagai orangtua adalah saat itu Nur telah di otopsi, aku benar-benar merasa marah dan sedih menghadapi kondisi ini, marah karena pada siapa majikan mereka meminta izin untuk mengotopsi anakku, dan sedih karena kemungkinan organ-organ dalam tubuh anakku telah kosong, aku menduga kemungkinan telah dijual. Entah lah hanya Tuhan yang tahu.

Berdasarkan kecurigaan ini akhirnya kami pihak keluarga melaporkan kasus ini kepada pihak Polresta Lhokseumawe, dan pihak Polresta Lhokseumawe juga meresponnya dengan membawa mayat Nur ke Rumah Sakit Cut Meutia Lhokseumawe untuk divisum. Yang meyakitkan hasil otopsi yang pernah dijanjikan akan dikirim majikanya sampai sekarang belum dikirimkan, mereka juga tidak pernah lagi mau berkomunikasi dengan kami sehingga aku dan bekas keluarga majikan Nur putus kontak sampai saat ini.

Aku berharap kasus ini cepat terbongkar sehingga arwah Nurbaiti anakku bisa tenang di alam baqa, tidak seperti sekarang aku merasa Nur belum tenang, karena beberapa kali kejadian arwahnya sempat merasuki aku dan dua orang tetanggaku, menghadapi kenyataan ini aku semakin berkeyakinan bahwa Nur bukan kecelakaan tapi memang dicelakakan atau dibunuh. Tapi aku tidak akan sanggup membuktikan kecurigaanku tersebut, aku berharap pihak kepolisian lah yang akan membuktikan semua ini, oleh sebab itu aku berharap pihak kepolisian mau bekerja keras membongkar kasus ini, mereka supaya bisa bekerja lebih serius dalam mengusut kasus ini agar tidak ada lagi TKI-TKI dari Indonesia yang menjadi korban di luar negeri, biarlah Nur anakku yang menjadi tumbal terakhir di luar negeri.

Tapi mungkinkah harapan orang miskin seperi aku ini terkabul? Aku sangat-sangat meragukan hal itu, karena kulihat sampai hari ke 22 anakku dikubur belum ada respon sedikit pun dari Pemerintah Aceh soal kematian anakku ini, apakah mereka berpikir apalah artinya harga sebuah nyawa orang miskin seperti aku sehingga seorang Gubernur Irwandi Yusuf yang aku pilih dengan penuh semangat tempo hari untuk menjadi Gubernur Aceh sampai belum mengeluarkan satu pernyataan pun mengenai kematian anakku ini. Memang mungkin harapanku ini terlalu muluk untuk seorang yang tidak penting seperti aku, tetapi aku merindukan seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyatnya walau kasusnya kecil mungkin untuk sebagian orang tapi ini kasus besar buat keluargaku karena menyangkut dengan nyawa.

Tetapi walaupun tidak ada tanggapan apa-apa dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Pak Gubernur, karena mungkin terlalu sibuk memikirkan lebih dari empat juta rakyat Aceh lainya, tapi aku tidak akan patah semangat, aku tidak boleh cengeng dan merengek-rengek minta perhatian mereka, aku hanya bisa sedikit terhibur dengan kesedian dari orang-orang LBH APIK Lhokseumawe untuk menjadi pengacara buat keluarga kami yang orang-orang miskin ini, oleh karena itu aku tetap terus berjuang supaya misteri kematian anakku bisa terungkap, aku yakin Allah SWT akan mendengar pinta orang-orang lemah seperti aku. Aku juga yakin meski manusia tidak sanggup membuktikan kasus ini tapi Allah akan sanggup, karena tidak ada yang mustahil pada kekuasaan Allah, dan naluri sebagai seorang ayah tidak sanggup dibohongi tentang adanya hal-hal atau perkara yang mencurigakan dari kematian anakku Nurbaiti, mudah-mudahan Nurbaiti akan tenang di alam baqa. Aku akan terus berjuang untukmu anakku. Amin!.***