16 Januari 2009

AKIBAT GUNA-GUNA LAJANG TUA

Perjalan hidup terkadang tidak semulus jalan tol, ada saja rintangan dan halangan yang akan kita temui. Tetapi semua itu akan menjadi pengalaman yang berharga dan sejarah hidup yang akan membuat seseorang jadi lebih bijaksana pada masa yang akan datang kalau orang tersebut pandai memaknai hidup.

Demikian juga perjalan hidup Ria (sebut saja demikian), seorang wanita manis yang tinggal di sebuah desa di sebuah kecamatan di Kabupaten Bireuen, harus menjalani hari-harinya dengan penuh penderitaan karena harus menahan sakit yang menggerogoti tubuhnya. Ada semacam penyakit aneh yang menyerang kedua payudaranya, yakni semacam tumor dan hal itu nyaris membuatnya menjadi wanita minder seumur hidup. Hal itu disebabkan karena menolak cinta sorang lajang tua satu kampungnya. Berikut penuturannya pada Hamdani dari Modus pada Minggu 23 September 2007 di rumahnya yang asri di sebuah desa di sebuah kecamatan pesisir pantai Kabupaten Bireuen.

Meski seorang wanita desa aku adalah seorang yang optimis dalam menghadapi hidup, hidup bagiku adalah hari-hari yang sangat menyanangkan dan membahagiakan di tengah kehidupan keluargaku yang sangat bersahaja. Keluarga kami walau bukan orang berada tapi hidup dengan penuh keriang gembiraan setiap hari. Tidak ada konflik keluarga yang berarti, kedua orangtuaku rukun-rukun saja meski hidup hanya pas-pasan. Pekerjaan orangtuaku adalah bertani seperti umumnya pekerjaan masyarakat desa.

Saat itu aku adalah seorang gadis belia yang sedang beranjak remaja, sedang mekar-mekarnya kata orang. Untuk ukuran desa, wajahku kata orang-orang tergolong manis, kulitku juga putih. Maka aku termasuk bunga desa di kampungku. Karena kecantikanku tersebutlah membuat banyak anak muda di desaku naksir terhadapku. Tetapi semua keinginan pemuda-pemuda kampungku kutanggapi dengan wajar-wajar saja, meski terkadang tersirat rasa bangga terhadap kenyataan ini. Hal ini wajar-wajar saja sebagai manusia. Tetapi kelebihanku tersebut tidak lantas membuatku sombong, aku tetap bersyukur kepada Allah atas segala kelimpahan rahma-Nya yang telah dianugerahkan kepada ku.

Dari sekian pemuda yang naksir aku, ada satu orang yang kelihatan sangat ngotot ingin memiliki aku namanya Amiruddin (sebut saja demikian), umurnya sudah beranjak tua untuk ukuran lajang yang belum kawin, kutaksir mungkin sekitar 40 tahun lebih sudah usianya. Berkali-kali dia menyatakan perasaan cintanya terhadap aku. Tetapi dengan berbagai cara dan berusaha untuk tidak menyakit hati Amiruddin aku berusaha menolak dan menolak.

Sampai akhirnya bang Amir, demikian biasa kusapa tidak pernah lagi mengungkapkan rasa sukanya padaku. Aku merasa lega karena kupikir bang Amir sudah melupakan rasa cintanya terhadap aku. Tetapi ternyata dugaanku meleset ternyata dia masih menyimpan bara cinta terhadapku. Aku bingung, bukannya karena bang Amir sudah tua aku menolak cintanya padaku tetapi aku merasa tidak suka dengan sikap dan tingkah laku bang Amir, yang kata orang berperangai buruk suka berantam dan mengisap ganja. Bang Amir adalah preman gampong kata orang-orang.

Mengetahui kenyataan bahwa bang Amir masih menyimpan cinta padaku aku merasa bingung dan gamang. Sehingga untuk menghindari bang Amir aku terpaksa mengungsi ke rumah kakakku perempuanku yang tinggal di sebuah kota kecamatan. Tinggal di rumah kakak membuatku sedikit merasa tenang dan damai dan bisa melupakan sedikit rasa cemas yang menghantui dada.

Setelah enam bulan aku mengungsi ke rumah kakak di kota, suatu hari aku harus pulang ke kampung karena kebetulan di kampungku sepupuku melangsungkan pesta perkawinan, jadi sebagai kerabat dekat tidak mungkin aku tidak menghadiri pesta tersebut.

Sebenarnya saat pulang aku agak cemas dan was-was juga takut ketemu dengan bang Amir. Ternyata apa yang kutakutkan terjadi juga, di sebuah persimpangan jalan menuju rumahku aku berpapasan dengan bang Amir, dia melihatku dengan sinis ada bara dendam sekilas terlihat di matanya. Cepat-cepat aku menundukkan pandangan tidak berani menatapnya. Takut dan kecut perasaanku saat itu. Dengan langkah cepat dan terburu-buru tanpa berani melihat ke belakang aku langsung menuju rumah.

Setelah pertemuan di simpang jalan dengan bang Amir aku selalu dilanda kecemasan yang luar biasa dan tidak biasanya, di rumah pesta pikiran dan perasaanku tidak tenang, sehingga buru-buru aku minta pamit. Aku merasa ada suatu bayang-bayang besar yang selalu menghantuiku, sehingga karena ketakutanku tersebut sampai-sampai keluar keringat dingin. Aku benar-benar takut, suatu ketakutan yang luar biasa.

Karena perasaan cemas dan takut yang berlebihan tersebut aku buru-buru kembali ke rumah kakak di kota, mungkin dengan kembali ke kota bisa sedikit meredam rasa takut yang kualami pikirku. Ternyata dugaanku meleset, malamnya saat tidur aku bermimpi buruk. Kembali aku cemas dan takut menghadapi hal ini.

Hari-hari setelah pertemuanku dengan bang Amir aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, timbul pikiran apakah bang Amir mengguna-gunaiku karena aku menolak cintanya? Ah, buru-buru kutepis pikiran jahat itu, aku tidak boleh memvonis orang tanpa bukti, dosa.

Ah, tanpa bukti? tetapi kenapa setelah pertemuan tempo hari tiba-tiba aku berubah? Aku merasa ketakutan dan cemas tanpa alasan? Menghadapi hal ini aku sering curhat dengan kakak dan beberapa orang yang kuanggap dekat. Walau ada sedikit perasaan lega tetapi tetap tidak bisa memberikan solusi.

Suatu hari aku merasa ada rasa nyeri pada kedua belah payudaraku, sakit sekali dan ini tidak biasanya. Aku merasa sangat cemas saat itu, aku mencoba melihat dan mengamati dengan seksama di depan cermin, tidak ada yang berubah terhadap payudaraku tetapi kenapa rasa itu menyergap tiba-tiba?

Semakin hari rasa sakit itu semakin menyiksa. Aku berinisiatif menceritakan kepada kakak, dan kakak menganjurkan untuk memeriksakan diri ke dokter. Dalam perjalanan ke tempat praktek dokter aku selalu berdoa dan berharap mudah-mudahan ini bukan tumor atau kanker payudara. Karena kalau itu benar aku merasa semakin kehilangan harapan. Ternyata hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa tidak ada gejala tumor atau sejenisnya, tetapi kukatakan bahwa aku kesakitan dokter tersebut bingung juga.

Setelah memperoleh hasil diagnosis awal hasil rembukan keluarga aku dibawa pada pengobatan alternatif, dukun lah. Ya, namanya usaha meski aku tidak yakin benar terhadap keampuhan pengobatan dukun aku tetap nurut juga sebagai anak. Seperti dugaan awalku, kalau dibawa ke dukun pasti aku dikatakan telah di guna-gunai. Ya, kata dukun aku telah diguna-gunai oleh seseorang karena sakit hati.

Saat itu aku semakin yakin bahwa yang mengguna-gunai aku adalah bang Amir, keluargaku juga punya keyakinan yang sama. Tetapi kami tidak menggugat atau menyerang balik karena kupikir semua itu pasti ada ganjaranya. Allah Maha Adil dan Mengetahui segala tingkah hamba.

Meski pengobatan dukun hanya mengarah kepada siapa yang mengguna-gunaiku tetapi penyakitku tidak kunjung sembuh, kedua payudaraku semakin membusuk dan mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Sehingga terpaksa aku dirawat di rumah sakit, berhari-hari penyakitku semakin parah nanah yang keluar dari payudara semakin banyak dan perawat tiap hari menyedot untuk mengeluarkan segala kotoran yang ada di payudaraku.

Akhirnya meski secara medis tidak ada gejala tumor, dokter menyarankan kepada keluarga untuk melakukan operasi untuk mengeluarkan segala kotoran dan penyakit yang ada. Keluargaku setuju dengan saran dokter. Akhirnya aku dioperasi, seminggu pasca operasi aku diperbolehkan pulang.

Sampai suatu hari aku mendengar kabar bahwa bang Amir ditangkap oleh pihak kepolisian karena kasus ganja dan pemukulan yang dilakukannya. Sebelum ditangkap dia sempat juga dihajar massa sampai babak belur. Alhamdulillah dia telah mendapat balasan yang setimpal, seperti kata-kata bijak siapa yang menuai dia memanen. Anehnya setelah penangkapan bang Amir aku merasa semakin baik kondisiku semakin fit, kondisi kedua payudaraku juga berangsur sembuh seperti sedia kala, meski agak cacat sedikit karena ada bekas operasi. Tetapi sampai saat ini aku tidak yakin bahwa kondisi membaik karena dioperasi atau ditangkapnya bang Amir. Entahlah!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar