16 Januari 2009

AKU WANITA MALANG

Kemalangan bisa menimpa setiap orang tetapi setiap kejadian harus disikapi dengan tabah dan tawakkal pada Allah SWT, karena Allah tidak akan memberi suatu cobaan di luar batas kemampuan manusia itu sendiri. Tetapi apapun yang diberikan Allah kepada kita harus disikapi dengan sikap lapang dada dan penuh kesabaran. Karena jalan kedamaian akan diraih oleh manusia yang tidak suka mengeluh dan sabar dalam menghadapi kehidupan walau sesulit apapun. Hal ini seperti kisah yang diuraikan Nong (sebut saja demikian) kepada Hamdani dari Tabloid Modus Aceh berikut ini.

Aku merasa adalah wanita paling malang di dunia ini walau kuakui masih banyak wanita-wanita yang lebih malang dari nasibku ini, tetapi aku adalah salah satu wanita yang merasa paling malang tersebut dari sekian wanita yang bernasib malang. Entah darimana kumulai kisahku ini aku juga merasa bingung.

Kumulai saja kisah ini dengan perkenalanku dengan seorang lelaki sebut saja Imran, di mataku Imran adalah lelaki macho dan bisa menggetarkan jiwaku setiap saat mata kami beradu baik disengaja maupun tidak, hubungan kami bermula dari teman kemudian beralih ke pacaran dan akhirnya berlabuh di pelaminan.

Usia awal-awal perkawinan merupakan hari-hari yang menggembirakan dan penuh dengan madu kenikmatan duniawi, seperti kata orang-orang bulan madu. Aku merasa sangat berbahagia bisa meraih impianku untuk mendapatkan lelaki yang kuidam-idamkan, aku merasa menjadi wanita seutuhnya.

Walau tanpa materi yang berlebihan karena bang Imran hanya bekerja sebagai buruh angkut barang di sebuah kota kecamatan yang kecil, tapi aku tetap mencintainya dalam kesederhanaan rumah tangga kami, aku juga tidak menuntut lebih sebagai seorang istri aku harus tahu diri terhadap kondisi keuangan rumah tanggaku.

Kebahagian ini ternyata tidak bertahan lama, hal ini terjadi karena berkecamuknya konflik di Aceh sehingga pendapatan suamiku yang memang tidak menentu semakin tidak menentu, tetapi hal ini kami sikapi dengan sikap kesabaran yang utuh dan menyeluruh sambil mengharap keajaiban dari Allah semoga konflik Aceh cepat berlalu.

Tetapi harapan hanya tinggal harapan, konflik antara TNI/Polri dan GAM semakin dahsyat berkecamuk dari ke hari ruang gerak untuk masyarakat sipil semakin sempit, para pihak kombatan yang bertikai seakan tidak menghargai nasib warga sipil, perang ini benar-benar brutal dan tidak berperikemanusiaan banyak nyawa telah melayang tersia untuk tumbal kedamaian ini.

Suatu hari tibalah tragedi yang menyayat kalbu itu sebagai ekses dari konflik, dan menimpa kehidupan rumah tanggaku. Hari itu seperti biasanya bang Imran pamit padaku untuk berangkat ke pasar untuk mencari nafkah sebagai buruh bongkar muat. Ternyata pamitannya bang Imran hari itu adalah pamit untuk terakhir kali, karena menjelang tengah hari tiba-tiba aku dipanikkan oleh suara dentuman keras yang memekakkan telinga dari arah pasar, sebagai masyarakat yang tinggal di daerah konflik suara dentuman seperti itu dapat dipastikan sebagai suara granat, tapi apa yang digranat hari ini? Aku tidak mau tahu tapi yang aku cemaskan adalah nasib bang Imran yang sedang berada di pasar.

Beberapa saat setelah reda suara dentuman senjata api dari pasar, selidik punya selidik suara dentuman besar beberapa waktu lalu berasal dari suara pemboman Makoramil yang terletak di tengah pasar yang dilakukan oleh gerilyawan GAM. Kembali aku bertanya-tanya dan panik karena bang Imran belum juga pulang, padahal perang telah usai. Kemana bang Imran?

Detik demi detik berlalu dalam penantian yang penuh kecemasan, aku semakin panik setelah mendapat informasi dari seorang saksi mata bahwa ada seorang pemuda yang ciri-cirinya mirip dengan bang Imran ditangkap di pasar oleh pasukan dari Brimob BKO seusai penggranatan Makoramil tersebut. Kecemasanku semakin memuncak karena sampai malam hari bang Imran belum juga pulang, mau langsung bertanya ke markas Brimob BKO aku tidak punya nyali, siapa sih yang punya nyali dalam kondisi seperti itu?

Keesokan harinya teka-teki baru terjawab, sesosok mayat diletakkan dalam karung plastik warna hitam di pinggiran jalan raya Medan-Banda Aceh di tempat yang sunyi di tengah persawahan yang sunyi, kondisinya sangat mengenaskan, selidik punya selidik ternyata mayat tersebut adalah bang Imran. Meledaklah tangis histeris dalam duka nestapa yang tiada berujung. Aku telah kehilangan harapan dan pegangan hidup, cintaku telah pergi dengan tragis tanpa aku bisa mengiringinya.

Hari-hari setelah pemakamannya aku jadi orang yang patah semangat, status janda resmi sudah kusandang. Akhirnya aku jadi kehilangan gairah dan harapan tubuhku kurus tinggal tulang, tiada semangat kehidupan yang aku rasakan sekarang ini, aku nyaris frustasi dan putus asa.

Tetapi seiring dengan berjalan waktu duka nestapa juga pergi tanpa terasa meninggalkanku pelan-pelan, aku mulai berpikir positif, toh kehidupan harus tetap berjalan yang pergi dan dijemput maut adalah proses alami yang tidak perlu ditangisi itu adalah takdir kehidupan yang tidak bisa terelakkan, cuma sebab dan caranya saja yang berbeda-beda kita semua insan akan sampai pada ajalnya bila tiba masanya.

Setelah sekian lama menjanda mulai ada kumbang kelana yang serius melirikku, walaupun aku tidak tergolong cantik setidaknya sudah ada yang serius ingin melamarku, dari sekian yang serius aku merasa terpaut dengan seorang laki-laki yang sudah berstatus duda cerai (ngakunya), sebut saja Rudi lelaki keturunan Jawa yang sudah mempunyai dua anak yang sudah besar ini kulihat lebih serius dalam mendekatiku, dan sebagai pria yang sudah dewasa kuanggap dia lebih layak mendampingiku karena tentu akan lebih bertanggungjawab pikirku.

Akhirnya setelah proses yang tidak terlalu rumit dan bertele-tele aku dan Rudi melangsungkan perkawinan, prosesi pernikahan berlangsung sederhana tanpa pesta hanya sedikit acara peusijuek (tepung tawar) sebagai adat untuk keberkahan. Lainnya berlangusng normal dan wajar-wajar saja.

Seperti perkawinan pertama, perkawinan keduaku ini juga pada awalnya juga berlangsung dengan kesan bahagia dan aku kembali merasa menjadi wanita seutuhnya dan Rudi bisa kembali memuaskan dahagaku yang telah lama kering sebagai wanita yang normal, sikap Rudi yang kebapakan dan telaten khas orang dari Pulau Jawa telah sanggup membuat jiwaku damai. Aku benar-benar bahagia dan merasa sebagai wanita normal kembali yang utuh menyeluruh, apalagi ada anak-anak dalam perkwinan kami, ya walau bukan anak kandungku tetapi anak bang Rudi kuanggap anakku juga karena aku mencintai bang Rudi apa adanya.

Tetapi hal ini tidak berlangsung lama, pelan-pelan tapi pasti semakin hari sikap bang Rudi semakin berubah, dia mulai kasar dan berangasan aku mulai keteteran dan tidak sabaran dengan sikapnya tersebut. Suatu hari sikapnya sangat manis padaku ternyata sikap manis bang Rudi hari itu karena ada maunya.

“Dek, aku mau membuka usaha kecil-kecilan, pinjam dong mas kawin kita dan hape kamu, ntar kalau usaha aku maju aku balikin deh”. Ujarnya dengan senyum manis dan suara lembut.

Mendengar kata-katanya tersebut meski pada awalnya ragu aku luluh juga, aku hanya sempat bertanya sekilas, “Mau buka usaha apa bang?”. Tanyaku.

“Adalah, ntar kalau sudah berhasil adik akan tahu sendiri deh. Janji akan kubalikin tenang aja”. Ujarnya dengan mimik serius.

Akhirnya aku membuka cincin emas yang di jari manisku dengan perasaan campur aduk dan rasa kasih sayang yang sungguh, dengan harapan semoga sikap bang Rudi akan berubah kepadaku setelah ini.

Beberapa hari setelah emas dan hape kuserahkan dan langsung diuangkan bang Rudi, beberapa hari setelah itu dia mengatakan akan mengantarkanku ke tempat orangtuaku dengan alasan dia akan ke Medan untuk merintis usaha yang telah direncanakan sebelumnya, dan dia berjanji kalau sudah berhasil merintis usaha akan mencari rumah kontrakan untuk kami tempati bersama, saat itu anak-anak juga dibawa serta karena beralasan bisa nolong-nolong dia karena sudah besar. Sebagai wanita yang lugu aku nurut dan percaya saja apa kata bang Rudi.

Tapi setelah sekian lama kepergiannya aku mulai curiga, jangankan dijemput sedikit kabar juga tidak pernah kuterima. Bang Rudi dan anak-anaknya seperti hilang ditelan bumi, tinggallah aku sendiri sebagai wanita malang yang telah ditipu mentah-mentah oleh lelaki laknat yang bernama Rudi. Sampai suatu hari kuperoleh kabar kalau Rudi itu telah kembali ke Pulau Jawa ke tempat istri tuanya, dan kabar terakhir kudengar mereka telah rujuk. Sedang aku hanya bisa gigit jari menyesali kebodohan dan kemalanganku, lelaki mememang jahat, walau tidak semua lelaki sejahat Rudi tetapi aku mulai trauma berhadapan dengan makhluk yang namanya lelaki, cukuplah kisahku ini menjadi pelajaran berharga buat wanita lain supaya lebih berhati-hati dan tidak mudah percaya dengan mulut buaya laki-laki.***

5 komentar:

  1. kenapa laki2 bisa setega itu?? rasanya kalo aku besar nanti aku gak mo nikah. Om, sampai kapan wanita harus kayak gitu terus?????

    BalasHapus
  2. Nyan awak jawa paleh lage pukoma

    BalasHapus
  3. Orang laki2 memang jahat.. Mereka hanya memilih yang cantik rupa paras dan cantik tubuh badan...

    BalasHapus
  4. Ya... Orang laki2 memang jahat.. Penipu.. Dan hanya memilih yg cantik.. Aku pernah mnjadi mangsa.

    BalasHapus
  5. Kemalangan qt hampir sama namun baru mencapai pada kejadian suami kedua saya sudah mulai kasar.

    BalasHapus