16 Januari 2009

JADI KURIR GANJA MENGANTARKU KE PENJARA

Penyesalan datangnya selalu terlambat setelah semuanya berlalu baru kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah tidak benar, tetapi kalau sudah terlanjur hanya taubat yang bisa kita lakukan sebagai insan untuk memohon keampunan atas kealpaan yang terlanjur kita lakukan. Karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna, semua punya dosa baik besar maupun kecil. Berikut adalah kisah penyesalan Samsul Bahri bin Sulaiman (50) alias pak kumis yang menceritakan pengalaman pahit getir masa lalunya kepada Hamdani dari Tabloid Modus Aceh di halaman parkir Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Lhokseumawe, berikut ini penuturan lengkapnya.

Aku adalah seorang bapak dari dua anak yang masih kecil, anak tertuaku adalah perempuan sekarang telah berusia 10 tahun, sedangkan adiknya yang laki-laki masih berusia lima tahun, sedangkan istriku hanya seorang ibu rumah tangga. Mengingat mereka membuatku sangat sedih dan makin menyesali apa yang telah menimpa diriku, walaupun sampai detik ini anak-anakku tidak pernah mengetahui aku sedang dalam penjara. Hal ini sengaja aku dan istriku rahasiakan untuk menjaga perasaan anak-anak supaya mereka tidak minder dalam pergaulan sosialnya.

Aku dipenjara karena terlibat dengan kasus ganja, saat itu tahun 2004 Aceh masih dalam lingkaran konflik kebutuhan ekonomi terhadap keluarga begitu mendesak karena sulitnya mencari nafkah akibat keadaan yang tidak kunjung aman, sedangkan kebutuhan tidak pernah mau bertoleransi dengan keadaan. Konflik boleh tetap berlangsung tetapi perut anak istri harus tetap di isi setiap waktu.

Karena keadaan yang mendesaklah akhirnya aku terbujuk untuk menjadi kurir ganja, 200 kilogram ganja saat itu aku bawa dari Kutacane menuju Medan, dengan mobilku Toyota bak terbuka aku membawa barang haram tersebut, kupacu mobilku ke perbatasan dengan harapan aku bisa sampai di Medan tepat waktu. Saat itu oleh agen besar aku dijanjikan upah 18 Juta rupiah jika berhasil membawa ganja tersebut ke Medan, ini tentu sebuah upah yang sangat menggiurkan buatku, aku merencanaknan akan membangun rumah dengan uang sebanyak ini karena sampai saat ini aku masih tinggal di rumah mertua, dan hal itu sangat menggadaikan harga diriku sebagai seorang lelaki sejati.

Dengan mensiasati mobilku dengan cara melapisi lantai mobil dengan lantai baru dan aku menaruh ganja yang sudah kukemas dan kupres sebesar batu bata tersebut, dan ini sudah cukup aman kupikir, dan menurutku hanya Tuhan yang tahu apa yang kubawa dalam mobilku tersebut. Tetapi keyakinanku ternyata meleset jauh, karena sampai di perbatasan aku kena sweeping dari Brimob BKO yang sedang bertugas dan entah dapat bocoran darimana mereka kalau di bawah lantai mobilku ada barang haram aku juga bingung dengan hal ini apa aku dijebak?

“Selamat siang pak! Bisa minta surat-suratnya kenderaannya?” Ujar salah seorang anggota Brimob BKO tersebut dengan berpura-pura ramah pada awalnya.

“Oya, ya bisa…”. Jawabku berusaha menenangkan diri, meski jantungku agak berdegup kencang.

“Bapak bawa apa di belakang mobil”. Tanya salah seorang Brimob tersebut, sambil melihat mobilku yang ditutupi dengan terpal berwarna hitam.

“Tidak bawa apa-apa pak, kosong! Saya hanya mau belanja barang ke Medan”. Ujarku berdusta.

Tapi mereka terkesan tidak percaya, tanpa menunggu persetujuanku mereka langsung merobek terpal mobilku dengan sangkur yang ada di tangan mereka, setelah bak mobil terbuka mereka berusaha menusuk-nusuk lantai mobilku dengan ujung sangkur yang tajam. Dan akhirnya salah seorang dari Brimob BKO tersebut berseru lantang sambil mengangkat sebuah bungkusan sebesar batu bata sambil berseru.

“Hei anjing!!! Ini apa yang kaubawa?” Ujarnya marah, dengan mata melotot merah.

Saat itu tidak ada suara yang bisa keluar dari mulutku, aku berpikir saat itu bahwa hari ini adalah hari kematianku, sehingga hanya lafaz syahadat yang selalu kuucap dalam hatiku, tiba-tiba salah seorang dari mereka langsung menarik aku keluar dari mobil dengan kasar dari dalam mobil, jangan ditanya saat itu aku sangat-sangat ketakutan. Tiba-tiba “DUK!” satu pukulan keras menimpa ulu hatiku, mataku langsung berkunang-kunang, dunia terasa berputar aku langsung hilang keseimbangan dan jatuh. “BUK!”

Setelah jatuh tiba-tiba aku merasa punggungku dihantam dengan sepatu lars mereka, entah berapa kali tendangan dan pukulan menimpaku aku sudah tidak menghitung lagi, tiada waktu untuk menghitungnya, sampai tiba-tiba mereka menghentikan pukulannya setelah datang salah seorang petinggi polisi yang bertugas di Polres Aceh Tenggara merangkulku, “Sudah…sudah…”. Ujarnya terburu-buru, “Biar kami tangani kasus ini”. Lanjutnya lagi. Ternyata mereka telah menghubungi Mapolres Aceh Tenggara.

Kemudian dengan mobil patroli dari Polres Aceh Tenggara dan di dampingi beberapa orang anggota Brimob BKO aku dan mobilku dibawa ke Kutacane, aku saat itu hanya bisa pasrah dan dalam hati berterima kasih kepada anggota Polres Aceh Tenggara yang telah menolongku. Terakhir kuketahui dia adalah teman lamaku.

Akhirnya setelah berlangsungnya suatu proses penyidikan dan berkas perkaranya lengkap P-21 istilahnya, oleh pihak kepolisian aku langsung diserahkan ke Kejaksaan di Kutacane untuk segera dilakukan proses persidangan. Singkat cerita setelah berlangsung beberapa kali proses persidangan tibalah hari aku dijatuhkan vonis, dan saat itu hakim Pengadilan Negeri Aceh Tenggara di Kutacane menjatuhkan vonis kepadaku selama 10 tahun empat bulan penjara. Mendengar vonis hakim tersebut aku hanya bisa terhenyak di kursi pesakitan, tanpa mampu mengajukan pledoi. Inilah harga yang pantas buatku?

Setelah proses pengadilan selesai aku langsung di giring ke Lembaga Pemasyarakat Kutacane, kupikir tibalah hari-hari yang membosankan dan menjemukan di balik dingin dan pengapnya tembok penjara yang angkuh itu. Di LP Kutacane aku merasa sangat menderita karena semua fasilitas baik sanitasi dan makanan sungguh sangat membosankan, kami para tahanan sering diberikan ikan asin yang sudah busuk. Sedih sekali mengingat keadaan tersebut.

Hari-hari di LP Kutacane merupakan hari-hari yang penuh penderitaan, aku merasa sangat kesepian di balik terali besi yang sepi dan pengap, sementara kerinduan terhadap anak istri yang saat itu sudah kembali ke tempat orangtuanya di Kabupaten Bireuen membuat aku semakin tersiksa karena merasa semakin jauh dari anak dan istri. Sering aku menangis dalam keheningan malam mengingat mereka yang kesepian, anak-anakku yang masih kecil belum mampu mencerna tentang segala derita ini.

Dua tahun aku berada di LP Kutacane aku mengajukan permohonan pindah ke LP Lhokseumawe, dan istriku yang setia dengan bersusah payah berusaha mengurus segala urusan kepindahanku tersebut, dan ternyata berhasil walau harus menghabiskan biaya sampai 10 juta rupiah, tapi aku sangat puas dan berbahagia setidak-tidaknya bisa lebih dekat dengan keluarga.

Di LP Lhokseumawe aku merasa sangat berbahagia, fasilitasnya berbeda dengan LP Kutacane, di LP Lhoksemawe kebutuhan makan kami sangat dijaga baik lauknya maupun menunya. Walaupun penjara bukanlah tempat yang menyenangkan tetapi dibandingkan dengan LP Kutacane di sini aku merasa lebih tenang dan senang, LP Lhokseumawe adalah pesantren buatku.

Karena kelakuanku yang baik akhirnya aku dipercayakan oleh kepala LP atau Kalapas untuk menjadi tukang bersih-bersih di sekitar LP dan sekaligus merangkap jadi juru parkir di halaman LP dan uang hasil parkir kusetor sebagaian kepada koperasi LP, meski tidak banyak uang yang tidak seberapa dari hasil parkir itu berusaha kutabung.

Yang membesarkan hatiku sekarang adalah, saat ini aku sering diberi cuti setiap bulannya untuk menjenguk keluargaku selama tiga hari setiap bulan, saat kepulangan adalah saat-saat yang selalu kunanti-nantikan karena aku bisa bertemu dengan anak-anakku dan juga istriku tercinta yang telah setia selama ini menungguku. Dan saat bertemu dengan anak-anak selalu kukatakan bahwa aku baru pulang dari jauh untuk mencari uang sehingga mereka tidak curiga.

Insya Allah menurut keterangan Kalapas akhir 2009 kalau kelakuanku tetap baik aku sudah bisa mengajukan pembebasan bersyarat, dan hal ini sangat membesarkan hatiku karena akan kembali bisa berkumpul dengan keluarga untuk membangun sebuah rumah tangga yang normal dan bahagia. Rencananya setelah selesai hukuman yang kujalani ini aku akan bertani karena kebetulan aku punya sepetak tanah kebun di Desa Blang Ranto Kecamatan Sawang, saat itu kalau ada umur panjang aku ingin memulai hidup baru dan melupakan segala kegetiran hidup di masa sekarang. Kini aku hanya bisa menyesali hari-hariku, ternyata kurir ganja telah mengantarku ke penjara. Tetapi penyesalan saja tanpa pertobatan hanya akan sia-sia saja. Makanya hari-hari sepiku di LP Lhokseumawe kuisi dengan hal-hal yang positif dengan cara mendekatkan diri pada Allah SWT sehingga menjadi bekal buatku di akhirat kelak.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar