16 Januari 2009

KARENA DEPRESI AKU HAMPIR BUNUH DIRI

Rumah tanggaku pada awal-awalnya adalah rumah tangga yang bahagia, apalagi kehidupan keluarga kami cukup mapan dan terpandang, suamiku bekerja di salah satu perusahaan besar, yaitu perusahan eksplorasi minyak yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam. Saat-saat bahagia dan berkecukupun kami lalui dengan penuh keindahan, karena kehidupan kami yang mapan, maka sering pada akhir pekan kami pergi ke Medan untuk sekedar refreshing bersama keluarga, atau hanya sekedar berbelanja menghabiskan waktu libur.

Tahun-tahun bahagia terus berlalu seiring perjalanan waktu, tidak terasa usia perkawinan kami juga telah menjelang senja, kami telah mempunyai anak-anak yang remaja. Anak kami berjumlah lima orang. Sampai tiba-tiba pada suatu hari, suamiku pulang dengan wajah lesu, ”ada apa pak? Kok murung begitu wajah papa?” tanyaku penasaran. ”Ah, bu...kemungkinan perusahaan akan melakukan PHK besar-besaran tahun ini, karena alasan konflik perusahaan tidak bisa bereksplorasi dengan bebas.” Jawabnya malas, ”apa papa juga kemungkinan termasuk orang yang akan kena PHK?” Tanyaku cemas, karena terbayang akan menghadapi kesulitan dalam keuangan, kalau suamiku sudah tidak bekerja. ”Bukan hanya kemungkinan bu! Tapi, hampir pasti, mulai bulan depan sudah ada karyawan yang akan dirumahkan.” Kata suamiku malas dan tidak bersemangat, kemudian dia melanjutkan, ”mungkin untuk gelombang pertama ini papa belum kenak giliran, tapi yang pasti akan tiba juga giliran papa.” Terbayang rasa putus asa di wajah suamiku saat menjelaskan hal tersebut, aku juga ikut panik. ”Kita tidak punya banyak tabungan, kita terlalu boros selama ini ya Pa?” Aku berkata panik. ”Ya sudah lah, waktu yang tersisa ini harus kita manfaatkan untuk menabung, kita harus mengencangkan ikat pinggang, anak-anak harus dibiasakan untuk berhemat mulai sekarang, mudah-mudahan pesangon yang akan diberikan perusahaan nantinya bisa kita jadikan buat modal.” Jelas suamiku panjang lebar.

Teranyata waktunya tiba juga, akhirnya apa yang kami cemaskan terjadi juga, suamiku tetap di PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja. Terlihat gurat kekecewaan di wajah suamiku saat mememberitahukan kepadaku tentang masalah PHK tersebut, sebagai istri aku tetap menyuruhnya bersabar dan bersabar, ”sabar lah pa, mungkin ini adalah cobaan dan jalan takdir yang menimpa keluarga kita, suka atau tidak kita harus tetap menjalaninya dengan penuh keikhlasan dan lapang dada.” Kataku mencoba untuk menenangkan jalan pikiran suamiku, walau sebenarnya aku sendiri tidak tenang, aku resah dan panik memikirkan tentang ekonomi keluargaku, bagaimana nasib studi anak-anakku dan sebagainya. Yang paling aku cemaskan memang anak-anak, terutama yang sudah besar, karena biasanya mereka hidup berkecukupan dan mewah tiba-tiba harus kehilangan sesuatu yang berharga tentu akan meimbulkan shock dan terbeba secara psikologis.

Ternyata apa yang aku takutkan terjadi juga, anak sulungku yang telah memasuki kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Lhokseumawe, sering bentrok dengan adiknya yang masih SMA, kadang-kadang hal-hal sepele juga menjadi konflik yang membesar, sehingga jurang pemisah antara sesama anak-anak juga semakin besar. Menghadapi realita seperti itu aku juga ikut stress, aku bingung dan kehilangan harapan, sementara suamiku yang kuharap menjadi pelindung dalam keluarga juga sudah tidak bisa diharapkan perannya, dia semakin sibuk dengan dunianya, kelihatannya suamiku depresi berat, dia kelihatan minder. Aku sebenarnya sangat kasihan melihat nasib suamiku tersebut, tapi apa daya? Apa yang bisa aku lakukan?

Hari demi hari kulalui dengan penuh ketidak nyamanan, keluargaku semakin centang perenang, tiap hari di dalam rumah seperti perang besar, anak-anak sering berantam sesamanya, terutama si sulung yang sudah kuliah dengan yang nomor dua yang masih SMA, aku semakin panik keadaan ekonomi keluarga juga semakin sulit, uang pesangon yang diberikan perusahaan yang diberikan kepada suamiku juga semakin menipis. Untuk menyelamatkan keadaan keluargaku yang semakin memburuk ini aku memutuskan untuk membuka usaha kecil-kecilan di depan rumah, karena kebetulan rumahku dekat dengan jalan raya, sehingga kuanggap strategis untuk membuka warung kecil-kecilan.

Hari-hari pertama pengunjung warung masih sepi, tetapi memasuki minggu kedua dan ketiga sudah ada peningkatan, sehingga sering aku meminta tolong kepada anak-anakku yang sudah menanjak remaja itu untuk membantu menjaga warung, tetapi mereka tidak mau, ”aku nggak mau jaga warung mak, gengsi.” Begitu jawab mereka ketus, setiap kali aku minta tolong untuk menjaga warung. Akhirnya dengan mengurut dada yang terasa kian perih terpaksa aku bekerja sendiri membuka warung, kadang-kadang kalau ada keperluan misalnya untuk shalat terpaksa aku harus menutup warung dan kembali membukanya kalau urusan sudah selesai.

Walau keadaan semakin memburuk aku mencoba tetap untuk bertahan, tetapi kesabaran ada batasnya, aku sudah hampir putus asa, aku semakin depresi, sering kalau duduk sendiri aku melamun. Bengong kata orang, entah kenapa akal sehatku mulai tidak bekerja, sementara suamiku juga semakin pemurung, anak-anakku juga semakin liar, sulit di atur. Puncak dari kekecewaanku pada suatu hari anak sulungku memutuskan untuk tidak kuliah lagi, kalau kutanya kenapa, ”malas!” Jawabnya ketus. Aku kembali hanya bisa mengurut dada menghadapi anak-anakku yang keras kepala itu.

Menghadapi situasi yang semakin tidak nyaman ini pada suatu hari entah setan apa yang membisikiku untuk mengakhiri saja hidupku ini, perasaanku kalau sudah mati nyaman rasanya tidak harus menghadapi segala kesumpekan ini. Saat itu aku sedang menjaga warung, dengan langkah gontai aku masuk ke dalam rumah dan saat itu kulihat ada guntung di atas mesin jahit tua di dalam rumah, tanpa berpikir panjang aku langsung mengambilnya, saat itu aku sudah bertekad untuk mengakhiri saja hidup ini dengan menggunakan gunting ini, aku berpikir sekali tusuk pasti penderitaan ini akan berakhir. Dan croot...croot.... aku mulai menusuk perutku, darah mulai mengucur aku mulai panik, di antara sadar dan tidak aku masih sempat mendengar suara anak sulungku menjerit, kemudian menyusul suamiku, setelah itu aku tidak sadar lagi. Saat itu dunia sudah gelap, aku berpikir sudah mati.

Saat tersadar aku telah berada di sebuah ruangan yang terasa asing bagiku, serba putih, oh..ternyata aku sedang berada di sebuah kamar rumah sakit, hal ini kuketahui saat aku melihat jarum infus. Saat kesadaranku benar-benar pulih, aku melihat seluruh keluargaku telah berkumpul di dalam ruangan, mereka nampaknya gembira dengan kesadaranku, kulihat wajah suamiku pucat dan sedih, kelihatan kurang tidur, si sulung juga kelihatan sedih, mungkin dia merasa berdosa. Semua kelihatan sedih sekaligus gembira melihat aku telah siuman. Si sulung tiba-tiba merangkulku, ”mak...maafkan sikapku selama ini.” Kemudian juga menyusul suamiku. Akhirnya kami sekeluarga bertangis-tangisan.

Setelah kejadian tersebut, akhirnya keluargaku bersatu dan harmonis kembali. Aku tidak henti-hentinya memanjatkan syukur dan memohon ampunan kepada Allah, karena masih diberi umur panjang dan diberi kesempatan untuk hidup kembali menjalani sisa-sisa kehidupanku dan bertobat karena telah hampir salah langkah karena mencoba untuk bunuh diri. Keluargaku juga sudah kompak kembali, si sulung juga sudah mau masuk kuliah lagi, dan dia juga sudah rajin membantu di warung kecil kami, anakku yang nomor dua sepulang sekolah juga sudah mau membantu, demikian juga suamiku, sehingga aku sekarang sudah semakin cukup waktu untuk istirahat. ”Demikianlah kisah hidupku dek, mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran buat orang lain, supaya dalam menjalani kehidupan ini tidak mudah menyerah dan putus asa, banyak hal yang bisa kita lakukan kalau kita mau sedikit bersabar.” Demikianlah ujarnya kepada Hamdani dari Tabloid Hukum dan Politik Modus saat mengakhiri pembicaraan pada suatu hari di pertengahan bulan Mai 2007.

3 komentar:

  1. Kisahnya sungguh inspiratif, namun syang aku msh blm trsdar jg dr dpresiku, aku msh blm mnemukan cra utk bgkit dn lupa bgmn rsanya trsenyum. . . Hem

    BalasHapus
  2. Senang sekali mendengar ceritanya :) akhirnya bahagia. Saya juga pernah coba bunuh diri, tapi sampai sekarang saya belum bisa bener2 menyembuhkan depresi saya.

    BalasHapus
  3. http://jutawandomino206.blogspot.com/2017/06/ini-cerita-singkat-kinara-yang-selamat.html

    http://detik206.blogspot.com/2017/06/andi-pembunuhan-1-keluarga-jaksa-tak.html

    http://marimenujudomino206.blogspot.com/2017/06/pendekar-berparang-masuk-mapolres.html

    http://beritadomino2o6.blogspot.com/2017/06/mengharukan-tak-punya-makanan-kakek.html


    HALLO TEMAN-TEMAN DAFTARKAN SEGERA DIDOMINO206.COM JUDI ONLINE TEPERCAYA & AMAN 100% !

    SANGAT MUDAH MERAIH KEMENANGAN TUNGGU APALAGI AYO BURUAN DAFTARKAN:)

    UNTUK PIN BBM KAMI : 2BE3D683

    BalasHapus