16 Januari 2009

TIDAK TAHAN MENDERITA ANAKKU BUNUH DIRI

Daya tahan seseorang terhadap penderitaan tidaklah sama, demikian juga yang dialami seorang lelaki lajang usia 30-an Usman (samaran) yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri karena tidak tahan terus menderita dengan penyakit yang terus menderanya. Inilah kisah tragis penderitaan Usman yang diceritakan ayahnya Nurdin (samaran) kepada Hamdani dari Tabloid Modus Aceh, pada Minggu 2 Desember 2007 di rumah duka.

Usman adalah anak saya yang sulung dari empat bersaudara, sekolahnya hanya tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Usman adalah anak yang baik, walaupun masih muda tetapi sholatnya tidak pernah tinggal, pergaulannya juga tidak rusak seperti umumnya anak-anak muda seusianya. Hal ini mungkin saja karena kami tinggal di sebuah kampung yang belum ada pengaruh kehidupan kota yang penuh dengan hal-hal negatif.

Semenjak menamatkan bangku SMA Usman memilih untuk tidak melanjutkan ke bangku kuliah tetapi dia memilih untuk berdikari dengan cara berdagang supaya bisa membantu orangtuanya ujar Usman ketika ditanya alasannya untuk berdagang, akhirnya dengan berbekal modal seadanya Usman memulai usahanya dengan berjualan barang-barang kelontong di kampung. Usahanya lumayan maju dan membuat perekonomian keluarga sedikit membaik.

Ternyata keberhasilan Usman membuat iri pedagang-pedagang yang sudah lama membuka usahanya di kampung tersebut maklumlah kampung saya hanya kampung kecil, sehingga Usman akhirnya digunai-gunai. Usman yang malang akhirnya kehilangan ingatan alias menjadi kurang waras akibat guna-guna jahat tersebut. Akibat sakitnya tersebut akhirnya usaha yang baru dirintis gulung tikar karena bangkrut dan tidak ada yang mengelola lagi.

Bertahun-tahun Usman berada dalam ketidakwarasannya, saya sangat sedih melihat penderitaan anak sulung saya itu, sungguh tega orang yang telah mengguna-gunai anak saya tersebut. Apakah salah jika anak saya berusaha dan maju dalam menjalankan usahanya? Sungguh, saya tidak habis mengerti dengan keadaan ini, sering saya termenung sendiri memikirkan hal ini.

Kami sebagai orangtua yang saya sama anak telah membawa Usman kemana-mana untuk mengobati penyakitnya tersebut, baik ke dokter jiwa di Banda Aceh maupun ke paranormal atau dukun, ya walaupun saya kurang percaya dengan dukun tapi demi sebuah usaha saya tetap mencoba juga. Ternyata Usman tidak kunjung sembuh juga, tetapi sebagai orang yang percaya terhadap kebesaran Tuhan saya tidak kunjung putus asa dalam berusaha mengobati Usman. Akhirnya berkat ikhtiar yang tidak pernah putus-putusnya kondisi Usman semakin membaik, dia sudah sedikit sadar dalam alam sunyinya. Kami sekeluarga merasa gembira dan bersyukur atas kebesaran Allah ini.

Setelah kesembuhannya Usman sudah kembali gembira seperti sedia kala, tetapi walaupun begitu kadang-kadang dia sering saya lihat sering melamun juga, mungkin ini pengaruh dari sakit hilang ingatannya yang telah lama menghinggapinya sehingga dia butuh waktu untuk beradaptasi dengan kondisi yang normal dan saya pikir ini wajar-wajar saja sehingga saya membiarkannya karena berpikir ini adalah sebuah proses menuju kesembuhan yang sempurna.

Beberapa bulan kemudian semuanya telah berjalan normal kembali, Usman kelihatannya sudah sembuh total dan kembali menjalani aktifitas kesehariannya dengan normal. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, suatu hari Usman kelihatan uring-uringan lagi. Maka sebagai orangtua yang peduli saya bertanya kepada Usman, “Kenapa kamu kok kelihatan gelisah?”. Tanya saya penuh perhatian.

“Saya kena lepra pak, lihat ini di kaki saya sudah mulai tumbuh penyakit terkutuk itu”. Jawab Usman sambil menunjukkan jempol kakinya yang mulai tumbuh semacam kutil.

“Mungkin itu hanya alergi kulit, besok kita ke Rumah Sakit untuk memeriksa penyakitmu itu”. Jawab saya menenangkan.

“Tidak usah pak, buang saja saya agar penyakit ini tidak menular kepada anggota keluarga yang lain”. Ujarnya bernada sedih.

Mendengar perkataannya tersebut saya merasa sangat terenyuh, sedih tak terkira rasanya. Sebagai orangtua walau bagaimanapun menjijikkan penyakit anaknya dia tidak akan tega membuang anaknya, “Kita akan berusaha memeriksa penyakitmu, kamu jangan panik begitu belum tentu juga itu penyakit lepra”. Ujar saya menenangkan Usman. Kelihatan dia mau mendengarkan kata-kata saya saat itu.

Tatapi yang sangat saya sesali Usman tidak pernah mau memeriksa penyakitnya ke dokter, alasannya tidak siap mendengar vonis dokter tentang penyakitnya tersebut. “Lebih baik saya tahan saja penyakit ini, mungkin akan sembuh sendiri”. Ujarnya beralasan setiap mau diajak ke Rumah Sakit.

Karena berpikir Usman sudah bisa menerima keadaannya saya merasa lebih tenang sedikit. Tetapi ternyata dugaan saya itu tidak benar, Usman masih sering juga termenung dan uring-uringan sendiri, sering dia mengomel dan marah-marah sendiri dan mengancam kalau kami tidak mau mengasingkannya dia akan bunuh diri. Tetapi saya masih berpikir bahwa ancaman bunuh dirinya hanya upaya dia melepaskan kemarahan dan keputusasaanya terhadap penderitaan yang dideritanya.

Tetapi walaupun begitu untuk mengantisipasi kemungkin terburuk yang mungkin bisa saja terjadi, maka kami selalu memantau aktifitas Usman sehari-hari, karena takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap Usman. Sadar dipantau Usman juga tidak mau berbuat aneh-aneh, aktivitasnya wajar-wajar saja walau tidak pernah keluar lagi dari rumah, praktis hari-harinya dihabiskan di kamarnya tetapi sholatnya tidak pernah alpa dilaksanakan, ini yang membesarkan hati saya. Saya saat itu berpikir bahwa ternyata Usman tidak sampai marah pada Tuhan terhadap segala penderitaan beruntun yang dideritanya.

Sampai suatu hari petaka itu ternyata datang juga, hari Minggu pagi tanggal 2 Nopember 2007 seusai sholat Shubuh Usman kembali masuk ke kamarnya seperti biasa, dia selalu menghabiskan waktu di dalam kamarnya tersebut. Karena sudah waktunya sarapan ibunya memanggil Usman menyuruh untuk makan, setelah beberapa kali dipanggil tidak ada sahutan ibu Usman merasa panik dan kemudian memanggil saya yang sedang duduk di depan rumah di atas bale-bale.

“Pak! Pak! Usman tidak mau keluar kamar, sudah dipanggil beberapa kali untuk makan dia tidak mau keluar juga”. Jeritnya panik.

“Tenang, tenang bu, mungkin dia sedang tidur”. Ujar saya menenangkan.

“Tapi pak…”. Ujarnya mencoba untuk menjelaskan lagi.

“Sudahlah, mari kita lihat ke kamar”. Ujar saya cepat.

Sesampai di depan kamar saya lihat pintu kamar memang masih tertutup dengan rapat, saya coba mengintip lewat lobang kunci ternyata tidak bisa karena penglihatan saya terhalang dengan anak kunci, maka saat itu sayapun menjadi panik. Maka saya panggil anak saya yang bungsu untuk membantu mendobrak pintu, tapi tidak berhasil juga pintu tetap tidak mau terbuka.

Akhirnya saya mengambil inisiatif untuk membongkar pintu kamar tersebut dengan cara mencongkel dengan linggis, usaha tersebut akhirnya berhasil membuat pintu terbuka. Dan setelah pintu terbuka, terlihatlah pemandangan yang sungguh menggiris hati.

“Masya Allah! Allahu Akbar!” Kata saya berseru beberapa kali, karena melihat Usman telah tergantung dengan tali plastik di kamarnya, saat itu dia sudah tidak bernyawa lagi. Maka dengan bergegas kami membuka tali plastik yang menjerat leher Usman. Ajaibnya lidah Usman tidak menjulur keluar, kemudian tidak ada kotoran yang keluar dari lobang pembuangannya sebagaimana biasanya orang gantung diri. Apakah mungkin Usman sudah duluan meninggal sebelum tali plastik menjerat lehernya? Entahlah, saya tidak sempat berpikir lagi karena saat itu sedang panik.

Saat itu mendengar ribut-ribut tetangga kami karena penasaran juga sudah berkumpul di rumah kami. Maka, melihat kenyataan yang terjadi gegerlah suasana di Minggu pagi itu, jerit tangis dari wanita mulai bersahutan.

Akhirnya setelah di Fardhu Kifayahkan Usman dikebumikan di pemakaman desa, saya melepaskan Usman ke pemakaman dengan rasa sedih yang mendalam karena terkenang akan kehidupan Usman yang tidak pernah merasakan kegembiraan dalam hidupnya sampai akhirnya ajal menjemput dengan tragis. Selamat jalan anakku!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar