16 Januari 2009

KUPIKIR SUAMIKU TELAH TEWAS AKU MENIKAH LAGI

Manusia hanyalah makhluk yang lemah dan tiada berdaya, di tengah kefanaan dunia yang penuh dengan kamuflase dan fatamorgana. Tidak ada pilihan lain buat manusia selain menerima takdir baik dan buruk dari Yang Maha Kuasa. Yang penting, apapun yang menimpa, itulah yang terbaik buat diri manusia tersebut, keluh kesah hanya akan membuat stress, masalah tetap tidak akan selesai. Maka sebelum berbuat dan mengambil keputusan, berpikir lah terlebih dahulu. Ibarat kata pepatah kalau sudah terlanjur maka seperti nasi telah jadi bubur, tidak akan ada artinya lagi. Seperti kisah yang menimpa Sumarni (samaran), seorang janda yang memutuskan untuk menikah lagi dengan suami orang karena mengira suaminya sudah meninggal. Kisah lengkapnya berikut ini seperti yang dituturkan kepada Hamdani dari Modus.

Aku adalah seorang istri yang membina mahligai rumah tangga dengan seorang pria, sebut saja Abdullah (samaran). Saat itu aku telah dikaruniai empat orang anak, kehidupan rumah tangga kami relatif bahagia, meski kadang-kadang sering terjadi pertengkaran kecil hal ini wajar-wajar saja, karena kami masih sama-sama muda.

Meski suamiku tidak mempunyai kerja yang tetap, tetapi suamiku cukup bertanggung jawab terhadap keluarga, dan dia cukup rajin mencari rejeki apasaja, pokoknya halal. Memang suamiku tidak mempunyai kerja yang tetap, tetapi selalu bisa memenuhi kebutuhan minimal keluarga kami. Oleh sebab itu, aku pantas bersyukur.

Saat itu pertengahan tahun 1998, eskalasi politik di Aceh sedang memanas, DOM telah dicabut tetapi keadaan semakin meruncing. Banyak terjadi pergerakan-pergerakan rahasia, aku tidak tahu apa itu. Tetapi beberapa kali ada orang yang asing kulihat mengadakan rapat kecil-kecilan di rumah kami yang sederhana, tetapi sayup-sayup aku menangkap ada pembicaraan politik di antara mereka, tetapi sebagai wanita desa yang tidak tahu politik aku sama sekali tidak peduli terhadap hal-hal tersebut, yang penting bagiku Bang Abdullah tiap hari membawa belanjaan dan anak-anak kami tidak pernah kelaparan sudah cukup.

Awal tahun 2000 suamiku sudah semakin jarang pulang ke rumah, kudengar dari bisik-bisik tetangga, bahwa suamiku adalah salah seorang anggota GAM yang mempunyai jabatan sebagai Pang Sagoe, mendengar kabar tersebut aku merasa cemas juga, tetapi aku tidak bisa mencegah karena walaupun suamiku seorang yang cukup baik dan lembut, tetapi kalau keinginannya di tentang maka dia akan marah besar. Aku tahu persis sifat suamiku tersebut.

Semakin hari ketegangan antara RI dengan GAM semakin memuncak, suamiku nyaris tidak pernah pulang lagi ke rumah. Uang belanja kadang-kadang dikirim melalui jasa seorang kurir. Hari-hari kulalui dengan segala kecemasan sebagai seorang istri gerilyawan, setiap mendengar ada pertempuran antara TNI/Polri dan Gerilyawan GAM dan ada jatuh korban, aku berharap tidak ada keterlibatan suamiku dalam pertempuran tersebut, aku tidak sanggup membayangkan seandainya suamiku yang jatuh korban, bagaimana nasib anak-anakku. Entahlah, aku selalu dalam kecemasan menanti ketidakpastian.

Sampai suatu hari di awal-awal tahun 2004 datang seorang kurir ke rumahku membawa berita duka cita, yang mengabarkan suamiku telah tewas dalam sebuah pertempuran antara pasukan TNI/Polri dan pasukan GAM di pedalaman Aceh Utara. Mendengar kabar tersebut aku langsung melayang, dan jatuh pingsan, duniaku terasa gelap aku kehilangan kendali diri. tetapi aku tetap berharap mudah-mudahan berita itu bohong.

Tetapi harapanku hanya harapan semu, karena setelah berita tersebut nyaris tidak pernah kudengar kabar tentang Bang Abdullah suamiku, hari-hari berlalu seiring berjalannya waktu, semakin membuat keyakinanku terhadap keberadaan suamiku mulai memudar, aku semakin yakin bahwa suamiku memang telah benar-benar pergi. Ya, aku yakin suamiku telah tewas.

Setahun telah berlalu, penantian telah berada di tapal batas, aku sudah pasrah bahwa suamiku telah tewas. Bahkan setiap selesai sholat aku tidak lupa memohon doa semoga suamiku damai di alam baqa.

Sejak ditinggal suami aku hanya berpikir bagaimana harus memberi makan empat orang bocah kecilku, agar mereka tidak kelaparan dan mereka bisa gembira seperti anak-anak sebayanya. Maka, saat itu pekerjaan apasaja aku lakoni yang penting halal agar anak-anak bisa makan, seperti mengambil upahan mencuci dan mencongkel pinang juga aku lakukan, karena pada saudara-saudaraku tidak bisa diharapkan untuk menolong kami, karena mereka juga miskin-miskin sepertiku.

Dalam status janda tentu banyak cobaan dan godaan yang datang menghadang, apalagi aku masih muda dan walau telah mempunyai empat orang anak tetapi aku masih menyisakan sedikit kecantikan, hanya karena penderitaan hidup yang membuat kecantikanku sedikit memudar.

Sering aku digoda oleh beberapa orang pria, tetapi semua itu kuanggap sebagai keisengan pria belaka, tetapi sebagai wanita normal aku merasa berdesir juga, apalagi masih muda kebutuhan biologis masih tetap kubutuhkan, karena kesepian aku mengakui mulai butuh, tetapi kutepis jauh-jauh pikiran negatif itu. Aku masih belum mau menduakan Bang Abdullah.

Sampai suatu hari datanglah seorang laki-laki paruh baya bertamu ke rumahku, yang terakhir kuketahui bernama Husni (samaran), sebagai seorang tuan rumah yang baik tentu aku harus mempersilahkan orang yang datang secara sopan-sopan ke rumah sebagai tamu. Setelah sempat berbasa-basi sejenak, waktu mau permisi untuk pulang dia memberikan sedikit uang buatku, buat anak-anak katanya, pertamanya aku menolak pemberian yang tidak jelas tersebut, tetapi dia berusaha meyakinkanku bahwa pemberian tersebut tidak ada maksud apa-apa, kecuali hanya sekedar bersimpati dan ingin menolong sesamanya, maka akhirnya kuterima pemberian itu dengan berat hati.

Setelah kedatangan yang pertama, selang beberapa waktu kemudian Bang Husni datang lagi ke rumahku, dan kembali memberi uang ala kadarnya buat kebutuhan anak-anak katanya. Saat itu nyaris kehilangan alasan untuk tidak menerima pemberiannya tersebut. Aku mulai merasa tidak enak, pasti ada maksud apa-apa di balik pemberian tersebut, apalagi menyangkut dengan statusku yang janda, dan aku yakin tidak ada yang gratis di dunia ini, semua pasti harus ada imbalan.

Ternyata dugaanku benar, suatu hari Bang Husni mengungkapkan isi hatinya, dia berkeinginan untuk menjadi pelindung buat aku dan anak-anakku, alias jadi suamiku. Aku kaget, dengan pernyataannya yang tiba-tiba itu, aku tidak bisa menjawab, mulutku terasa terkunci. Tetapi akhirnya aku tetap pada pendirianku, aku menolak pinangan Bang Husni tersebut, alasanku saat itu karena ia sudah mempunyai keluarga, dan aku tidak ingin disebut janda yang merusak rumah tangga orang. Akhirnya hari itu ia pulang dengan raut wajah kecewa, tetapi tetap memberi uang buat anak-anakku.

Penolakanku ternyata tidak menyurutkan semangat Bang Husni untuk memperistrikan aku, berselang beberapa waktu kemudian ia datang lagi ke rumahku, dan kembali menyodorkan pertanyaan yang sama, ”Maukah kamu menikah denganku?” dan jawabanku tetap, ”Tidak, aku tidak ingin rumah tangga abang rusak gara-gara aku, aku tidak ingin di cap sebagai perusak rumah tangga orang, apalagi statusku saat ini janda.” Jawabku memberi alasan.

Tetapi dia tidak mudah menyerah, keinginannya begitu kuat, di sini aku teringat dengan profil Bang Abdullah yang tidak mudah menyerah kalah. ”Aku sudah mendapat izin istriku, jadi tidak ada alasan kan?” Ujarnya tiba-tiba penuh kemenangan.

Saat itu aku tidak bisa menolak lagi, meski aku ragu-ragu tetapi apa dayaku? Aku berpikir anak-anakku butuh makan, dan pernikahan adalah jalan yang halal meski dengan suami orang. Dengan tekad yang bulat dan penuh pertimbangan akhirnya aku nekat mengatakan bersedia jadi istri keduanya. Dengan penuh kemenangan akhirnya ia pamit dan mencium tanganku, sambil menyelipkan uang seratusan ribu di tanganku, ”Buat belanja dan anak-anak.” ujarnya singkat dengan raut wajah gembira.

Akhirnya resmilah aku jadi istri kedua Bang Husni, hari-hari kulalui dengan damai meski agak was-was karena aku belum yakin perkawinan kami direstui oleh istri pertamanya, firasatku ternyata benar, pada suatu hari ada seorang tamu wanita yang datang ke rumahku, dan dia mengaku sebagai istri dari Bang Husni. Ia mengaku kecewa dengan keputusanku menerima Bang Husni, aku dianggap telah merayu suaminya dan merusak rumah tangganya. Saat itu aku merasa sangat malu dan hanya bisa tertunduk lesu. Sambil menyumpah serapah dia meninggalkan rumahku tanpa permisi.

Yang lebih menyakitkan, semakin hari Bang Husni semakin menampakkan sikap aslinya yang suka marah-marah dan ringan tangan, sering tanpa sebab dan kesalahan yang jelas dia langsung menggampar aku. Sakit rasanya, tapi yang lebih sakit ada hatiku, aku teringat suamiku yang dulu Bang Abdullah, meski suka marah-marah tetapi tidak pernah ringan tangan.

Pada suatu malam, enam bulan setelah penandatanganan MOU di Helsinki Finlandia, saat itu Aceh sudah mulai normal dan TNI/Polri juga sudah ditarik dari Aceh, dan mantan kombatan GAM sudah menyatu kembali dengan masyarakat, banyak yang dulu pergi entah kemana kini telah kembali ke kampung halaman. Saat itu sempat juga aku berpikir seandainya Bang Abdullah masih hidup tentu ia juga sudah pulang ke rumah ini, gubuk yang dulu dibangunnya dengan susah payah.

Dalam lamunanku yang belum usai di depan mesin jahit tua, aku mendengar langkah kaki di luar rumah. Ada ketukan pintu di luar, pelan dan ragu-ragu. Aku agak bimbang untuk membukanya, aku takut jangan-jangan maling, saat itu Bang Husni sudah terlelap dalam dengkur panjangnya yang kadang sangat mengganggu tidurku. Kembali aku mendengar ketukan, dengan suara yang ragu aku memberanikan diri bertanya, ”Siapa?”

Kemudian sayup-semayup kudengar suara di luar, ”Assalamualaikum! Ini Abdullah!” Ujar suara di luar ragu-ragu.

Duh, suara itu! Aku mengenal suara itu yang telah lama tidak kudengar, suara mendiang suamiku Bang Abdullah, tapi mungkinkah atau hantunya Bang Abdullah? Saat itu aku jadi merinding, aku menggigil ketakutan saat itu kaki terasa berat melangkah untuk lari, mulut juga terkunci. Aku benar-benar ketakutan. Di tengah ketakutan yang melanda, kembali terdengar suara ketukan yang agak keras, sambil memberi salam. Saat itu pikiranku sudah bekerja, hantu tidak mungkin sejelas ini pikirku. Ah, mungkin mirip saja dengan suara Bang Abdullah, ujarku dalam hati sambil beranjak untuk membukakan pintu.

Dengan tangan gemetar, kutarik gagang pengait pintu dan terbuka lah pintu. Sosok di luar nyaris membuatku pingsan karena ketakutan. Ternyata benar Bang Abdullah. ”Sumarni? Ini abang.” Dia berusaha menyapaku sambil mencoba meraih tanganku.

”Bang Abdullah?” Ujarku tidak yakin nyaris seperti orang ling lung, ”Ya, aku bang Abdullah, suamimu.” Ujarnya. Mendengar kata-kata suami aku kembali terhenyak, suamiku? Bukankah aku telah kawin lagi karena menganggap Bang Abdullah telah meninggal?

Setelah masuk ke dalam dan mendengar ada suara dengkuran lelaki lain di bekas kamar pengantin kami, akhirnya Bang Abdullah mengerti keadaan telah berubah, dan aku menceritakan semuanya sambil tidak henti-hentinya memohon maaf sambil menangis, saat itu Bang Husni suamiku telah terbangun, dia juga menceritakan segalanya sambil memohon maaf. Akhirnya Bang Abdullah mau mengerti tentang keadaan tersebut, setelah mencium empat buah hati yang telah lama dirinduinya dia permisi, dengan langkah lunglai dia pergi dari rumah yang dulu dibangunnya. Entah dengan pikiran apa, tetapi aku tidak ingin Bang Abdullah pergi sebagai lelaki yang kalah. Selamat jalan kekasih...!!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar