16 Januari 2009

AKU IBU SEKALIGUS AYAH BUAT ANAK-ANAKKU

Menjadi orang tua tunggal buat empat orang putra dan putrinya bukanlah hal yang gampang buat Maryani (samaran), tetapi hal ini harus dijalani juga dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Menurut Maryani anak-anak adalah harta berharga yang ditinggal almarhum suaminya yang meninggal karena dibunuh oleh OTK pada masa konflik dulu. Inilah penuturan lengkap Maryani pada Hamdani dari Modus pada Rabu 26 September 2007 di rumahnya yang terletak di pinggiran Jalan Medan-Banda Aceh pada suatu desa di Kabupaten Bireuen.

Semasa bang Yusri (samaran) masih hidup, kehidupan rumah tanggaku sangat bahagia kami hidup boleh dibilang berkecukupan untuk ukuran kota kecil, karena bang Yusri selain guru yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga merangkap sebagai pengusaha. Sedangkan aku hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi meski begitu aku punya keahlian dibidang jahit menjahit, sehingga praktis aku juga punya penghasilan sendiri meski tidak seberapa.

Kehidupan rumah tangga kami terus berjalan normal, saat itu akhir tahun 2002 aku telah mempunyai tiga orang anak semuanya putri dan sekarang aku sedang mengandung anak yang ke empat. Menutur pemeriksaan dokter janin yang kukandung sekarang adalah laki-laki. Mengetahui hal tersebut bang Yusri sangatlah gembira dan bersuka ria, karena sejak dulu memang dia mengharapkan kehadiran anak laki-laki di tengah keluarga kami. Karena itulah aku sangat dimanjakan bang Yusri, sehingga praktis segala pekerjaan berat dilarang untuk kulakukan, “Bisa membahayakan janin”. Ujarnya selalu.

Di tengah kondisi kedamaian dan kebahagiaan yang melingkupi keluargaku, tetapi tidak demikian dengan kondisi keamanan di Aceh, saat itu kondisi keamanan sedang sangat memanas aku sering membaca koran tentang terjadinya penyerangan-penyerangan dan semua itu membuat aku sedikit cemas. Tetapi suamiku berusaha menetralisir suasana dengan bahasa-bahasanya yang bijak, sehingga hal ini bisa sedikit mengurangi kecemasanku.

Memasuki tahun 2003 keadaan dan situasi semakin memanas, kandunganku saat itu telah memasuki usia tujuh bulanan. Sehingga praktis pergerakanku juga menjadi agak terbatas, nyaris seharian aku hanya duduk di rumah ditemani oleh tiga orang putriku. Seperti biasa suamiku beraktifitas seperti biasa pagi ke sekolah untuk mengajar dan pulang dari tugas mengajar istirahat sebentar langsung pergi lagi untuk mengurus tempat usahanya. Begitulah rutinitas yang dijalani suamiku, sehingga aku yakin suamiku nyaris tidak ada musuh.

Pada suatu hari suamiku pulang dengan wajah lesu, melihat keadaan suamiku yang kusut masai dan tidak biasanya itu aku mencoba bertanya, “Ada apa bang, kok kelihatan pucat?”. Tanyaku cemas, karena naluriku mengatakan pasti ada sesuatu.

“Ah, tidak ada apa-apa mungkin bapak cuma sedikit capak mengurus usaha-usaha kita, apalagi sekarang dengan kondisi konflik begini jangankan mencari untung bisa bertahan saja sudah cukup lumayan”. Ujarnya menjelaskan dengan suara pelan.

Tetapi aku tetap tidak yakin dengan jawaban yang diberikan, naluriku sebagai wanita mengatakan pasti ada sesuatu yang disembunyikan suamiku, “Tapi ada hal yang abang sembunyikan, ada apa bang?” Dugaku.

Dengan suara berat akhirnya bang Yusri menceritakan bahwa sudah beberapa kali sekelompok orang yang menamakan dirinya kelompok pejuang yang meminta Pajak Nanggroe dan jumlah dana yang diminta gila-gilaan, sementara kondisi perusahaan saat itu juga sedang kacau karena tidak lancarnya distribusi barang, jangankan memenuhi permintaan terhadap Pajak Nanggroe mempertahankan kelangsungan perusahaan juga nyaris tidak sanggup. Tetapi alasan ini tidak bisa mereka terima.

Masih menurut cerita bang Yusri, belum habis masalah dengan Pajak Nanggroe datang pula sekelompok pasukan pemerintah dari sebuah kesatuan yang dikenal yang meminta upeti, mungkin ini hanya oknum tetapi kalau permintaan mereka tidak dipenuhi resikonya juga sama dengan tidak memenuhi Pajak Nanggroe. Kondisi tersebut sungguh dilematis, bahwa kedua kelompok yang sedang bertikai tersebut selalu berkoar-koar bahwa keberadaan mereka untuk melindungi kepentingan masyarakat tetapi faktanya malah untuk menyengsarakan rakyat.

Akhirnya di tengah kondisi yang menghimpit tersebut, pada suatu malam datang sekelompok orang yang tidak dikenal menjemput suamiku di rumah, dengan penuh arogan dia menggedor-gedor pintu rumah kami, sehingga anak-anak kami beringsut di pojok kamar dengan wajah ketakutan. Aku juga sangat ketakutan karena sering kudengar cerita kalau ada orang yang menjemput seseorang di tengah malam seperti itu maka resikonya adalah kematian, dan kejadian tersebut menimpa keluargaku malam ini. Memikirkan hal tersebut dalam kecemasan yang luar biasa nyaris aku terkencing-kencing. Suamiku juga nampak pucat dan tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya, kami hanya mampu saling memandang tanpa mampu bersuara.

“Buka! Buka pintu!” Ujar suara dari luar sambil menggedor pintu dengan keras.

Setelah beberapa kali digedor-gedor akhirnya suamiku memberanikan diri untuk membuka pintu, selintas aku sempat melihat orang-orang di luar kuperkirakan sekitar lima orang dengan memakai penutup wajah sebo. Setelah pintu dibuka tanpa basa-basi aku melihat suamiku langsung dirangkul keluar. Sekilas suamiku masih sempat melihat dengan pasrah ke arahku dan ke arah tiga putri kami. Ternyata itu adalah tatapan terakhirnya.

Setelah dengan penuh harap-harap cemas menantikan kepulangan sumaiku malam itu, ternyata sampai paginya bang Yusri tidak pernah kembali. Besoknya terjadi kehebohan yang luar biasa di kampung kami, ternyata ada sesosok mayat ditemukan banyak bekas bacokan di badannya. Masya Allah! Ternyata mayat itu adalah mayat bang Yusri. Tega benar orang-orang tersebut membuat anak-anakku menjadi yatim, dan anak yang ada dalam kandunganku malah tidak sempat mengenal ayahnya. “Tega benar”. Ujarku membatin. Hari itu juga suamiku dikebumikan.

Setelah kepergian suamiku praktis kehidupan rumah tanggaku menjadi pincang, siap tidak siap aku harus menjadi orang tua tunggal, sementara kandunganku tinggal menunggu hari. Kujalani hari-hari dengan penuh kepahitan dan kegetiran, sebagai manusia ada rasa dendam tetapi rasa itu berusaha kutepiskan, walaupun ada kepada siapa akan kulampiaskan dendam tersebut? Toh aku tidak tahu siapa yang tega membunuh suamiku, yang aku tahu suamiku dibunuh oleh OTK, tetapi siapa OTK itu?

Sampai tibalah saatnya aku melahirkan, dan dengan dibantu oleh bidan yang ada di desaku aku melahirkan anak yang ke empat. Alhamdulillah! Lancar-lancar saja persalinanku, dan ternyata sesuai dengan prediksi dokter anak yang kukandung adalah laki-laki. Saat itu perasaanku gembira mendapatkan anak laki-laki sekaligus sedih karena bang Yusri tidak sempat melihatnya lagi, padahal dia sangat mendambakan anak laki-laki. Saat itu untuk menghibur hatiku aku hanya berpikir mungkin bayi laki-laki ini adalah hadiah terindah terakhir yang diberikan bang Yusri buatku. Alhamdulillah! Aku akan menjaga anak ini sebagai amanah dari almarhum suamiku.

Empat tahun lebih sudah bang Yusri pergi dari hadapan kami, masih tersisa kenangan yang terlalu indah untuk kulupakan, kini anak laki-laki yang diidam-idamkan telah berusia hampir lima tahun, dia tumbuh sebagai anak yang gembira sedangkan tiga putriku sudah menginjak remaja. Aku harus tetap tegar sebagai orang tua tunggal agar anak-anakku tidak tumbuh menjadi anak yang minder dan berjiwa rapuh, kalaupun aku harus menangis bila kadang-kadang terkenang akan almarhum suamiku maka hal itu tidak akan pernah kulakukan di depan anak-anakku supaya mereka tidak ikut berduka. Biarlah derita jiwa ini kutanggung sendiri.

Untuk menghidupi rumah tanggaku selain mengandalkan uang pensiunan sumiku yang sisanya juga sudah tidak seberapa karena aku telah mengambil uang di bank untuk modal usaha, aku juga menerima pesanan jahitan dari beberapa orang tetangga yang sudah mengatahui tentang keahlianku tersebut. Hal yang menggembirakan adalah ketiga putriku juga sudah bisa membantuku dalam hal menjahit sehingga praktis bisa sedikit menolong pekerjaanku dan menambah penghasilan keluarga.

Dengan kesibukan kami tersebut, apalagi menjelang hari raya Idul Fitri yang omset jahitannya sangat banyak bisa sedikit melupakan segala kepahitan hidup, hanya kadang-kadang aku sering terkenang pada saat waktu berbuka puasa telah tiba, seandainya bang Yusri masih ada lengkap sudah kebahagiaan ini melingkupi keluarga kami. Tapi, inilah takdir manusia hanya bisa merencanakan tetapi Tuhan tetap punya kuasa. Anak-anakku kelihatan juga sangat tegar, mereka tetap bisa tersenyum layaknya anak-anak sebaya mereka, mungkin di usia belia mereka sudah sangat memahami takdir. Entahlah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar