16 Januari 2009

KARENA TERTEKAN HAMPIR KUBUNUH SUAMIKU

Walaupun sebuah perkawinan pada awalnya dilandasi dengan cinta dan punya harta yang melimpah, tetapi tidak menjamin sebuah rumah tangga akan bahagia dan langgeng kalau antara kedua belah pihak tidak saling menghargai perasaan pasangan masing-masing. Malahan sebuah rumah tangga yang penuh intimidasi dan otoriter akan berakibat fatal dan tragis. Hal ini seperti pengalaman pahit sebuah rumah tangga, seperti yang diceritakan kembali oleh Linda (sebut saja demikian) kepada Hamdani dari Modus. Berikut penuturannya.

Aku adalah seorang gadis yang ceria pada awalnya, walaupun aku adalah gadis desa tetapi aku mempunyai bekal pendidikan yang cukup, hal ini karena orangtuaku berprinsip walaupun mereka hanya seorang petani tetapi anak-anaknya haruslah menjadi orang sukses. Karena itu aku berhasil menamatkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Aku sengaja bersekolah di SPG dengan pertimbangan agar cepat mendapat kerja untuk jadi guru. Sehingga nantinya akan bisa membantu meringankan beban ekonomi keluargaku yang hanya sebagai petani.

Pertengahan tahun 80-an aku telah menamatkan SPG ku, saat itu karena kebaikan seorang kepala sekolah yang masih relatif muda berumur sekitar 35 tahun aku diterima untuk menjadi salah seorang tenaga honorer di Sekolah Dasar (SD) yang letaknya jauh di pedalaman di sebuah kecamatan di Kabupaten Bireuen.

Tetapi kebaikan kepala sekolah yang masih relatif muda tersebut, dengan menerimaku menjadi salah seorang tenaga honorer di sekolah yang dipimpinnya, ternyata ada maunya ada udang di balik batu kata orang-orang. Karena ternyata Pak Rizal (bukan nama sebenarnya) menyimpan hasrat yang terpendam padaku. Mengetahui hal ini aku cuek saja, toh saat itu aku juga belum punya pacar jadi tidak ada masalah Pak Rizal menyukaiku, karena kupikir tidak ada yang akan tersakiti.

Suatu hari seusai jam belajar dan murid-murid sudah bubaran, aku dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Aku merasa ada sesuatu hal yang penting yang akan dibicarakan, mungkin menyangkut kinerjaku di sekolah yang Pak Rizal pimpin atau ada hal-hal lain, aku tidak mau menduga-duga.

Sesampai di ruangan kepala sekolah, Pak Rizal menyambutku dengan ramah dengan wajah tersenyum sumringah. Aku terpaku sembari membalas senyumannya, sembari menarik kursi yang ada di hadapannya untuk duduk. Tiba-tiba Pak Rizal memecah keheningan dan berkata, ”Maaf telah mengganggu waktu ibu.” Ujarnya berbasa-basi sambil tersenyum untuk mencairkan suasana.

Kemudian Pak Rizal melanjutkan, ”Saantai aja bu Linda, rilek. Maaf, sebenarnya ini hanya masalah pribadi, tetapi karena saya tidak sanggup memendamnya dari pada jadi penyakit lebih baik kan saya ungkapin aja kan?” Tanya Pak Rizal seakan mengiyakan.

Saat mendengar kata-kata Pak Rizal tersebut, aku hanya diam dan menunduk, tidak sepatah katapun bisa keluar dari mulutku. Tetapi, naluriku sebagai wanita sudah bekerja, apalagi selama ini aku sudah mendengar selentingan kabar tentang Pak Rizal yang naksir aku. Tapi, aku tidak menduga Pak Rizal akan secepat ini mengungkapkan perasaannya padaku.

Akhirnya dengan nada yang tegas Pak Rizal menanyakan padaku, ”Apakah kamu mau menjadi ibu dari anak-anakku?”

Saat itu aku tidak berkata apa-apa, aku hanya mengangguk kecil tanda setuju. Tetapi aku minta waktu juga untuk membicarakan dengan orangtuaku sekaligus untuk mempersiapkan mentalku. Bagaimanapun aku belum siap sebenarnya.

Beberapa waktu setelah pembicaraan tersebut, dan terjadi saling komunikasi antara kami dan saling silaturrahmi, kami merasa ada saling kecocokan, cuma yang agak kurang aku sukai dari sikap Pak Rizal, dia orangnya agak cemburuan, tetapi aku buang jauh-jauh perasaan tidak nyaman tersebut, aku berusaha menghibur diri dengan berpikir Pak Rizal cemburuan karena terlalu mencintaiku. Akhirnya kedua belah pihak dari keluarga kami menyepakati untuk melangsungkan perkawinan antara kedua mempelai.

Sebulan setelah acara perkawinan yang melelahkan berlangsung, Pak Rizal mulai menampakkan sikapnya yang asli, dia menyarankan aku untuk berhenti saja mengajar, dia beralasan seorang wanita tugasnya cukup jaga rumah saja dan mengurus suami, karena yang mencari rezeki sudah kewajiban suami, tidak baik seorang wanita sering beraktifitas di luar rumah. Pertamanya aku keberatan juga dengan usulnya, tetapi setelah Pak Rizal memberi alasan-alasan yagn menurutku masuk akal, meski berat kuikuti juga keinginan Pak Rizal yang telah jadi suamiku, sebagai tanda baktiku padanya.

Hari-hari sepi mulai menjalariku sepeninggal suami untuk berdinas, aku yang biasanya ada aktifitas tiba-tiba berhenti dari aktifitas hanya bisa bengong di rumah tidak tahu apa yang harus kukerjakan. Apalagi kami telah tinggal di rumah sendiri, yang memang sudah dipersiapkan Pak Rizal sebagai hadiah perkawinan katanya. Bulan-bulan pertama adalah waktu yang sangat menyiksa, hari-hari terasa sangat panjang. Hanya mesin jahit tua yang selalu menemaniku mengawali hari-hari yang membosankan itu.

Memasuki bulan ke enam perkawinan kami, aku merasakan ada kelainan di perutku, aku berpikir mungkin ini hamil, apalagi bulan ini aku agak terlambat datang bulan, ini tidak biasanya. Aku sangat gembira, kukabari hal ini pada suamiku sepulang diri sekolah, dia pun kelihatan sangat gembira. Sorenya dengan bergegas kami memeriksakan diri ke bidan praktik terdekat, hasilnya positif, aku hamil. Kami sujud syukur.

Setelah kehamilanku memasuki bulan-bulan terakhir dan siap-siap untuk melahirkan, aku minta pulang ke tempat orangtuaku, karena kupikir biar mudah dalam mengontrol, pertamanya suamiku keberatan, dia menyarankan ibuku saja yang tinggal di rumah kami untuk semantara dan merawat aku. Tetapi saran ini setelah kubicarakan dengan ibu tidak mungkin dipenuhi, karena ibu juga harus merawat ayah yang sudah tua dan sering sakit-sakitan.

Akhirnya proses kelahiran yang aku takutkan tiba juga, aku melahirkan seorang bayi laki-laki. Suamiku juga sangat gembira karena dia juga mendambakan seorang anak laki-laki. Setelah sampai masa iddah, aku langsung dijemput oleh suami, untuk pulang ke rumah kami.

Setelah mempunyai seorang anak, kehidupan rumah tangga kami tetap tidak berubah, monoton dan membosankan, aku selalu di kekang, hanya untuk pulang ke rumah orangtua ku saja aku jarang diizinkan oleh suami, ada saja alasan yang disodorkan yang kadang-kadang tidak masuk akal, bergaul dengan tetangga sekitar juga sangat jarang kulakukan. Sehingga tetangga menganggapku sombong. Pelan-pelan keadaan ini membuat perasaanku jadi aneh, aku semakin merasa rendah diri dan tertekan. satu-satunya yang bisa menghiburku adalah anakku yang sudah tumbuh empat tahun dan sedang lucu-lucunya.

Pulang ke rumah suami juga jarang bertegur sapa denganku, entah kenapa. Padahal tidak ada masalah yang mengganjal selama ini, dia hanya sering bercanda dengan anak kami, tetapi dengan ku nyaris tidak pernah bertegur sapa. Mungkin dia marah, karena aku sering membantah perkataannya, sehingga dia dongkol sendiri. Tapi entahlah, dia tidak pernah terbuka, suamiku tidak pernah mau dialog mengenai masalah rumah tangga kami, dia terlalu angkuh dan aku merasa semakin hari dia semakin otoriter dalam mengatur hidupku.

Menghadapi sikap suami yang semakin tidak bersahabat, di rumah aku merasa bagai tinggal di tempat asing, rumah tanggaku sudah tidak normal lagi kurasa. Tapi aku selalu bersabar, saat beban di dada sudah semakin memuncak aku selalu berpikir sehat dan memandang kearah putra kami satu-satunya yang belum mengerti arti konflik orangtuanya.

Sampai suatu hari kesabaranku hilang sudah, hari itu suamiku membuat peraturan baru, aku dilarang keluar rumah tanpa alasan yang jelas, katanya kalaupun aku keluar rumah harus ada izin suami. Peraturan apa ini pikirku, suamiku terlalu paranoid, suamiku terlalu cemburu kukira. Aku tidak bisa terima ini, tiba-tiba aku sudah gelap mata, saat itu bocah kecilku sedang terlelap di ayunan, aku berlari ke dapur, kusambar parang yang tergeletak di sudut dapur, kucari suamiku yang saat itu sedang berbicara dengan seseorang di tepi jalan di depan rumah kami. Tanpa ba bi bu aku langsung menghantam parang ke tengkuk suamiku sambil menjerit histeris.

Suamiku langsung jatuh menggelepar, saat itu aku berpikir dia sudah mati, aku merasa sangat puas, hilang sudah segala beban di dada yang selama ini menyesakkan jiwa. Plong rasanya. Seketika terjadi kepanikan warga, meraka berhamburan keluar rumah untuk menolong Pak Agus. Mereka benar-benar tidak menduga akan terjadi tragedi pada rumah tangga kami, apalagi para tetangga berpikir selama ini rumah tangga kami adalah rumah tangga yang harmonis dan ideal, tetapi siapa menduga semua itu hanya kamuflase.

Saat itu aku langsung berlari ke jalan raya sambil mengacung-acungkan parang yagn berdarah sambil berteriak-teriak, ”Mampus kau Agus! Aku bebas, aku merdeka!” Aku benar-benar tidak sadar dan berpikir aku sudah gila. Akhirnya aku roboh tidak sadarkan diri.

Saat sadar aku sudah di ruangan yang serba putih, dua petugas dari kepolisian nampak menjagaku, aku saat itu belum mengerti benar tentang keadaan yang terjadi. Sampai kesadaranku pulih benar aku bertanya pada salah seorang petugas, ”Dimana aku, dimana anakku?”

”Ibu saat ini ada di rumah sakit, ibu shock, anak ibu ada di rumah.” Jawab petugas ramah tapi tegas.

Setelah aku pulih benar, aku sempat berurusan dengan pihak berwajib karena tuduhan percobaan pembunuhan terhadap suamiku, tetapi karena berkat lobi-lobi dan jaminan-jaminan yang diberikan oleh pihak keluargaku aku bisa terbebas dari jeratan hukum.

Setelah semua masalah selesai akhirnya aku mengajukan gugatan cerai terhadap suamiku, tanpa urusan yang terlalu rumit akhirnya Pengadilan Agama mengabulkan gugatanku terhadap upaya gugatan ceraiku. Resmilah kami bercerai, anak tetap dibawah bimbinganku. Lega rasanya setelah berpisah dengan Pak Agus. Setelah beberapa bulan bercerai Pak Agus ada beberapa kali menghubungiku dan meminta aku untuk rujuk, tetapi aku sudah berketetapan hati untuk tidak menerima rujuk dari Pak Agus. Biarlah aku hidup sendiri sambil membesarkan anakku.***

1 komentar:

  1. “Saya stress dan bosan menghadapi kondisi anak saya. Saya merasa terbebani oleh anak, saya memiliki emosi berlebih terhadap anak dan saya takut menyakiti anak-anak saya.” Saya Harus Bagaimana? selengkapnya ada di https://goo.gl/Rq90x1

    BalasHapus