16 Januari 2009

MAAFKAN, BUKAN AKU TIDAK SETIA

Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut adalah suatu takdir Allah swt yang tidak bisa kita elakkan, meski terkadang sebagai manusia kita merasa sangat berat untuk menerima takdir yang menimpa kita, tapi Tuhan Maha Tahu Segalanya, mana yang terbaik yang harus terjadi untuk manusia, meski terkadang sangat pahit untuk menerimanya. Seperti kisah berikut ini, yang dituturkan oleh Icut (sebut saja demikian) kepada Hamdani dari Tabloid Hukum dan Politik Modus, berikut ini.

Kisah ini kumulai dari saat aku masih duduk di bangku kuliah di salah satu ibu kota Provinsi, yaitu kota ”B”, aku kuliah di Jurusan Ekonomi dan mengambil Program Diploma III, di salah satu Perguruan Tinggi Swasta ”S” yang merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang cukup ternama di kota Provinsi tersebut. Hari-hari kulalui dengan penuh kegembiraan dan wajar-wajar saja sebagimana para mahasiswa lainnya, masalah uang biaya kuliah juga tidak terlalu bikin aku pusing, karena keluargaku cukup mampu untuk membiayai segala kebutuhan kuliahku. Aku adalah anak tertua dari lima bersaudara, adikku satu orang cewek dan tiga orang cowok. Meski tidak bisa dibilang kaya raya tetapi orangtuaku termasuk orang yang cukup berada di kota kecilku, sebut saja kota ”K”, yang merupakan kota kedua setelah Ibu Kota Kecamatan, yaitu Kota ”G”.

Hari-hari kulalui di kota ”B” dengan penuh riang gembira sebagaimana remaja-remaja lain seusiaku, aku juga berpacaran sebagaimana umumnya remaja yang lain, dan pacarku tersebut adalah orang yang sekabupaten dengan ku, yaitu Kabupaten ”A”, istilahnya orang sekampung lah, sebut saja namanya Bang Boy (nama samaran). Kebetulan juga Bang Boy kuliah di Perguruan Tinggi yang sama denganku. Bang Boy orangnya sangat baik, meski tidak terlalu ganteng, karena Bang Boy orangnya hitam dan aku putih (kata teman-temanku aku cukup cantik), tapi Bang Boy orangnya cukup baik. Dia adalah lelaki yang lembut dan penuh pengertian, sebenarnya benih-benih cinta telah mulai tumbuh di hati kami berdua saat kami hampir menamatkan bangku Sekolah Lanjutan Atas, kebetulan kami satu sekolah di Kabupaten ”A”. Sampai akhirnya ternyata kami bertemu di Kota ”B” dan kuliah di perguruan tinggi yang sama, terasa semuanya memang serba kebetulan.

Perjalanan cinta kami mulus-mulus saja, kami tetap setia terhadap pasangan masing-masing, tidak terasa usia pacaran kami sudah hampir empat tahun, suatu rekor pacaran yang termasuk hebat, karena umumnya remaja-remaja lain seusiaku sering gonta-ganti pacar. Tetapi kami tetap mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjalanan cinta kami, karena kami ingin hubungan pacaran ini bisa dilanjutkan ke jenjang yang lebih luhur, kami ingin menjaga cinta ini tetap suci dan abadi sampai ke anak cucu, setidaknya demikianlah janji kami berdua suatu hari.

Hari-hari terus berganti, sampai akhirnya aku menamatkan kuliah ku di Kota ”B”, setelah selesai di wisuda aku kembali ke kampung halamanku, dengan membawa ijazah Diploma III, seperti orang lain yang baru menamatkan kuliah, aku masih bersemangat dan berpikir suatu saat aku akan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan pendidikanku. Tetapi dalam masalah pekerjaan ini aku sangat realistis, artinya aku tidak terlalu berharap dan menggantungkan harapan yang terlalu tinggi, agar nanti tidak terlalu kecewa, apalagi mungkin untuk menjadi seorang Pegawai Negeri misalnya. Tetapi keinginan itu tetap ada dan selalu terpatri di dalam hati.

Kembali ke masalah hubunganku dengan Bang Boy, ternyata Bang Boy adalah orang yang cukup menepati janji, karena tidak lama setelah aku menamatkan kuliah, dia datang meminangku kepada orangtua, tanpa halangan yang berarti dari kedua belah pihak keluarga kami, yang juga menyetujui hubungan kami selama ini, semuanya memang lancar-lancar saja, kupikir karena memang ini sudah jodohku. Karena setelah itu kami telah bertunangan, usia pertunangan kami memang tidak begitu lama, karena selang beberapa bulan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak keluarga, kami melangsungkan perkawinan.

Sampailah pada saat-saat yang paling meneganggkan buatku, yaitu saat mengunggu hari-hari untuk ijab kabul, karena setelah itu aku akan menjadi seorang istri yang harus tetap setia dan mengabdikan diri kepada seorang laki-laki yang disebut suami, dan aku sangat bersyukur, karena yang akan menjadi suamiku adalah orang yang menjadi pacarku selama ini. Lengkap sudah terasa kebahagiaanku, sehingga hari-hari menjelang ijab kabul tersebut kunanti dengan penuh harap-harap cemas, tidur rasanya tak nyenyak makan pun rasanya kurang selera, semua terasa seperti salah tingkah. Tetapi perasaanku sangat bahagia.

Sampailah pada saat hari yang paling bersejarah dalam hidupku, yaitu hari pernikahanku. Semua lancar-lancar saja, tidak ada kendala yang berarti. Aku tersenyum sumringah menatap Bang Boy yang kini telah jadi suamiku. Duh, suami. Terasa masih canggung, tetapi itu adalah hal yang wajar dalam suatu kehidupan, hal-hal baru akan terasacanggung. Tapi nanti semuanya akan jadi biasa saja seiring dengan perjalanan waktu.

Beberapa hari berselang setelah acara ijab kabulku, tibalah acara peresmian perkawinanku, lengkap sudah kebahagiaanku saat duduk bersanding di pelaminan dengan lelaki yang menjadi pujaanku selama ini, karena kepada lelaki ini lah aku akan menyerahkan hidupku dan mengabdikan diriku, aku bertekad akan mejadi istri yang setia dan baik, sehidup semati. Meskipun sangat melelahkan duduk bersanding dengan Bang Boy yang aku cintai hampir seharian di atas pelaminan, tetapi aku puas, aku sangat bahagia saat itu.

Singkat cerita, hari-hari awal perkawinan menjadi hari-hari yang sangat istimewa, bulan madu istilah orang-orang, meski semuanya terasa canggung tetapi akhirnya akan menjadi biasa-biasa saja dan wajar kupikir. Toh, walaupun aku cukup lama berpacaran dengan Bang Boy tetapi aku butuh beradaptasi juga, misalnya dalam hal tidur, maklumlah biasanya aku tidur sendiri tiba-tiba ada seorang lain yang tidur di samping kita, meski itu adalah seorang suami tentu akan menimbulkan rasa risih juga. Duh...!

Tidak lama usia perkawinanku, aku telah merasa ada gejala lain dalam perutku, aku hamil. Sungguh, saat itu merupakan suatu kebahagiaan yang sangat besar buat aku dan Bang Boy, kami bersyukur cepat diberi momongan oleh Tuhan. Aku bertekad akan menjaga kandunganku dengan baik, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada kandunganku, dan Bang Boy juga sangat memperhatikanku, serta sangat memanjakanku, dan Bang Boy akan sangat marah kalau aku bekerja cukup keras, karena dia sangat mencemaskan kandunganku akan terganggu karenanya, sekali lagi aku sempat bersyukur mempunyai seorang suami yang baik. Aku bangga dan bahagia menjadi istri Bang Boy.

Tidak terasa usia kandunganku telah memasuki bulan kesembilan, aku dan Bang Boy telah mempersiapkan segala hal yang berhubungan untuk menyambut kelahiran bayi pertama kami, aku dan Bang Boy harap-harap cemas menunggu hari kelahiran tersebut, terutama aku, kadang-kadang aku sangat cemas, maklum ini adalah pengalaman pertama melahirkan, tentu perasaan cemas seperti ini dirasakan juga oleh setiap wanita lain yang akan melahirkan, tetapi Bang Boy selalu mendampingiku dan membesarkan hatiku, sehingga aku merasa damai berada di sisi Bang Boy. Tiba saatnya melahirkan, akhirnya aku melahirkan seorang bayi laki-laki, dan wajahnya sangat mirip dengan Bang Boy, dan kulihat wajah Bang Boy sangat bahagia, sehingga aku juga turut bahagia, ini hadiah cintaku buat Bang Boy.

Saat usia anakku hampir setahun, konflik di Aceh mencapai puncaknya, yaitu sekitar tahun 2001 dan 2002, rasa damai dan aman yang selama ini kami nikmati terasa musnah, yang ada hanya rasa cemas yang menghantui pikiran. Konflik bersenjata antara GAM dan TNI/Polri tengah memuncak saat itu, sering terjadi kontak tembak antara gerilyawan dengan aparat keamanan, mereka kedua belah pihak yang tengah bertikai tersebut saling mengklaim kemenangan dan keberhasilan dalam pertempuran masing-masing menurut versi mereka, tetapi rakyat yang seharusnya dilindungi tetap menjadi korban dan terasa terjepit di antara dua kekuatan besar, hampir terasa tidak punya pilihan saat itu. Di depan rumah orangtuaku ada pos aparat keamanan, sering beberapa kali pos itu diserang oleh gerilyawan bersenjata, sehingga membuat aku dan Bang Bob yang saat itu masih menumpang di rumah keluargaku di Kota ”K” merasa cemas dan tidak nyaman, aku dan Bang Boy sangat mencemaskan putra kami. Oleh sebab itu, akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke Kota ”L”, yaitu sebuah kota yang menjadi ibu kota sebuah kabupaten.

Hidup di Kota ”L” terasa lebih nyaman, setidaknya urat-urat syaraf bisa sedikit kendor, ketegangan sedikit mereda. Aku bisa sedikit bernafas lega, setidak-tidaknya bisa membesarkan putraku dengan perasaan tenang, dan tidak terlalu cemas seperti yang kualami seperti di kota kecil ”K”. Saat itu aku telah kembali mengandung anak keduaku, dan usia kandunganku telah mencapai tujuh bulanan. Sampai tiba pada suatu hari aku dan Bang Boy harus pulang ke Kota ”K”, karena ada sedikit keperluan keluarga. Ternyata keputusan pulang ke Kota ”K” ini lah yang telah mengubah perjalanan hidupku, dan hal ini sangat kusesali hingg kini, walau aku percaya takdir tetapi ini terasa sangat menyakitkan. Sungguh, sangat menyakitkan.

Hari yang mengubah jalan hidupku dan rumah tanggaku adalah hari Jumat di tahun 2003, aku masih ingat saat itu aku dan Bang Boy telah dua hari berada di Kota ”K”, rencana sore hari kemarin kami akan berangkat pulang kembali ke Kota ”L” karena urusan keluarga sudah beres kemarin. Tetapi, itu lah takdir, kami memutuskan untuk pulang besok (maksudnya hari Jumat). Waktu menjelang Sholat Jumat, Bang Boy pamit untuk pergi Sholat Jumat ke Mesjid yang tidak jauh dari rumahku, dengan mengenderai sepeda motor butut milik adikku, ternyata pamit Bang Boy saat itu adalah pamitnya yang terakhir, karena setelah bubaran Sholat Jumat Bang Boy tewas ditembak oleh OTK, dia memang agak telat pulang ke rumah setelah bubaran Jumat karena harus ke toko obat dulu untuk membeli Vitamin C kepada putra kami. Tiga peluru telah bersarang di tubuhnya, menurut keterangan orang-orang Bang Boy tewas di tempat saat itu.

Hatiku terasa hancur mendengar kabar Bang Boy meninggal, duniaku terasa gelap, siapa mereka-mereka yang tega-teganya memisahkan seorang putra dengan bapaknya? Siapa mereka sehingga merasa sangat berhak untuk membuat seorang anak yang masih berada dalam kandungan untuk tidak sempat melihat bapaknya? Sungguh kejam, mereka tidak berperikemanusiaan, apakah mereka tidak membayangkan bagaimana seandainya hal ini menimpa keluaraga-keluarga mereka? Apakah mereka pantas menggantikan peran malaikat pencabut nyawa? Padahal, tangan-tangan mereka selama ini selalu berlumur darah orang-orang yang tidak berdosa.

Saat melihat suamiku yang telah tewas berlumuran darah saat aku dan beberapa orang keluargaku untuk menjemput jasad pria yang kucintai yang saat itu yang telah tergelatak di pasar Kota ”K”, dadaku terasa sesak, aku nyaris pingsan. Tapi, tidak...aku harus tegar agar aku bisa melihat suamiku dan ikut merasakan penderitaan yang dirasakan olehnya, walau terasa sangat berat mempertahankan keseimbangan tubuh aku tetap berusaha untuk tidak jatuh, akhirnya aku tetap bisa kelihatan tegar pada orang-orang, meski sebenarnya hatiku telah terasa remuk. Hati siapa yang tidak hancur, melihat suami yang dicintainya telah tewas berlumuran darah karena dibunuh oleh orang-orang yang katanya pejuang untuk rakyat dan pembela rakyat itu, padahal baru dua jam yang lalu Bang Boy masih segar-bugar saat pamit padaku untuk pergi Sholat Jumat, bahkan sebelumnya masih sempat bercanda denganku dan dengan putra pertama kami dan mengecup keningku sabagai tanda sayang, itulah kecupan terakhir sebagai tanda perpisahan dari Bang Boy. Tiba-tiba dia pulang telah menjadi mayat. Duh...selamat jalan Bang Boy, kekasih hatiku, cintaku...Aku akan berjanji akan membesarkan anak-anak kita sendiri. Sanggupkah?

Sepeninggal Bang Boy hari-hari yang kulalui terasa hambar, hidupku terasa sepi. Tapi aku tidak mau kehilangan semangat dan harapan, karena aku harus membesarkan dua putra buah cintaku dengan Bang Boy, meskipun hatiku hancur mereka harus tetap tegar, agar hidup mereka tetap bersemangat. Banyak pria yang bersimpati dan ingin melamarku, tapi semua kutolak, aku tidak ingin mengkhianati cinta Bang Boy, aku nggak tega. Biarlah aku hidup sendiri dulu.

Sampai suatu hari ada seorang pria hadir dalam kehidupanku, sebenarnya perkenalanku dengan pria ini juga terjadi secara kebetulan, sebut saja namanya Bang Anto. Kehadirannya dalam kehidupanku karena keisenganku juga, saat itu ada seorang siswaku yang agak akrab denganku (saat ini aku telah menjadi seorang guru honorer) ingin pergi ke kota ”M” dia bertanya padaku, ”bu, saya bawa oleh-oleh apa bu?” Lantas aku menjawab, ”saya jangan bawa oleh-oleh apa-apa, tapi kamu cariin suami lah buat ibu” kataku bercanda dan iseng-iseng. Tapi keisenganku ini ternyata ditanggapi serius oleh siswa tersebut, dia memberikan nomor handphone ku pada abangnya yang berada di kota ”M” tersebut. Maka terjalinlah komunikasi di antara kami, pertama hanya saling SMS- SMSan akhirnya telepon-teleponan, ternyata Anto semakin serius.

Akhirnya Bang Anto pulang ke Aceh khusus untuk berjumpa denganku, perkenalan pertama meninggalkan kesan yang mendalam di hati kami berdua. Aku juga bingung saat itu, entah perasaan apa yang ada saat itu di hatiku tehadap Bang Anto, yang jelas aku merasa simpati padanya, tetapi aku juga merasa berdosa dan mengkhianati Bang Boy. Aku bingung dan aku sedikit gamang. Tapi aku harus realistis, aku dan anak-anakku butuh pelindung. Ternyata hari demi hari perjalanan kisah-kasihku dengan Bang Anto semakin serius, diapun berjanji mau menerimaku apa adanya, termasuk anak-anakku untuk menjadi bagian dari hidupnya. Aku tersentuh, dan aku terenyuh. Maka akhirnya aku menerima kehadiran Anto dalam hidupku.

Saat aku memutuskan menerima pinangan Bang Anto, aku pergi ke pusara bang Boy, aku bersimpuh di pusara Bang Boy, aku mohon maaf, bukan aku tidak setia...! aku menangis, bagiamanapun Bang Boy adalah lelaki yang sangat kucintai, tidak ada lelaki lain yang akan menggantikan Bang Boy di hatiku, tetapi aku akan memberikan bagian hatiku yang lain untuk Bang Anto. Aku ingin Bang Anto jadi yang terakhir buatku, mudah-mudahan keputusanku ini adalah keputusan yang benar, keputusanku ini juga karena aku sangat sayang pada anak-anakku, aku ingin mereka menjadi seperti anak-anak orang yang lain, punya ayah dan ibu, dan supaya mereka juga punya pelindung.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar