16 Januari 2009

CINTA BUTA MENGANTARKU KE PENJARA

Seorang manusia hakikatnya diberi akal adalah untuk berpikir, jika akal pikiran yang sehat tidak dipergunakan maka nafsulah yang akan mengendalikan seorang manusia. Seperti halnya kisah cinta sepasang anak manusia yang tidak memikirkan norma-norma dan melanggar rambu-rambu agama dan akhirnya terjerumus dalam cinta terlarang yang berujung maut. Begitulah kisah tragis hidup Cut Miranza yang diceritakan kepada Hamdani dari Tabloid Modus Aceh beberapa waktu lalu di Pengadilan Negeri Lhokseumawe seusai persidangannya dan dihubungi beberapa kali di Rutan Lhokseumawe.

Aku adalah seorang gadis yang dilahirkan di Kabupaten Pidie atau yang lebih dikenal sebagai penghasil kerupuk mulieng, latar belakang keluargaku tidaklah bisa dikatakan sebagai sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis. Hal ini karena orangtuaku sering cek cok dan akhirnya berujung dengan perceraian, ayah dan ibuku yang sering ribut akhirnya bercerai dan masing-masing memilih untuk menikah lagi.

Walaupun keluargaku tidak harmonis, tetapi tidak mempengaruhi sifat keseharianku, karena aku adalah merupakan sorang gadis periang yang mempunyai cita-cita menjadi seorang yang ahli di dalam bidang kesehatan masyarakat, karena cita-citaku tersebut lah aku memilih kuliah di salah satu Fakultas Kesahatan Masyarakat swasta yang ada di kota Lhokseumawe.

Saat diterima kuliah di salah satu Fakultas Kesehatan Masyarakat itu aku merasa sangat berbahagia, aku merasa tidak lama lagi aku akan menggapai cita-citaku. Aku tumbuh menjadi gadis periang seperti umumnya gadis-gadis lain seusiaku. Punya rasa cinta dan ingin dicintai. Menurut teman-teman aku berwajah manis dan tidak heran banyak laki-laki yang naksir padaku.

Sampai suatu malam aku berkenalan dengan seorang cowok, saat aku dan beberapa kawan asramaku sedang membeli pisang goreng di salah satu warung langganan kami tiba-tiba datang seorang cowok menghampiri kami, dan memperkenalkan dirinya dengan nama Toni yang mengaku bekerja sebagai salah seorang tenaga satuan pengamanan di bank BTN Lhokseumawe. Setelah berbasa-basi sejenak dia langsung pergi setelah membayar pisang goreng yang kami beli.

Ternyata itu bukanlah pertemuan yang pertama, karena beberapa hari kemudian aku kembali bertemu dengan Toni, pertemuan kali ini jadi lebih akrab dan nampaknya Toni mempunyai perhatian yang lebih terhadapku. Hal ini kuketahui dari teman-teman dan dari teman-temanku lah Toni berhasil mendapatkan nomor handphone ku.

Singkat cerita setelah beberapa kali pertemuan dan saling SMS akhirnya resmilah aku dan Toni berpacaran, sebenarnya aku tidak terlalu mudah untuk ditaklukkan tapi gaya Toni yang sangat meyakinkan dan gaya berbicara juga sangat menawan sehingga aku akhirnya menyerah dengan perasaanku.

Maka berpacaranlah kami, hari-hari yang kami lalui begitu membahagiakan sampai suatu hari ada ganjalan kecil dalam hubungan kami, aku mengetahui dari salah seorang kawan Toni bahwa ia sudah berumah tangga, akhirnya aku bertanya pada Toni tentang kebenaran berita ini. Setelah pada awalnya agak berbelit-belit akhirnya Toni mengaku juga, “Memang benar abang sudah berumah tangga dek, tapi abang sangat mencintai dan menyayangi adek”. Ujarnya bergetar dengan wajah memelas sangat meyakinkan.

“Tapi kenapa abang tidak berterus terang sejak awal dari pertemuan kita? Abang penipu!” Ujarku marah.

“Sabar, sabar dek! Sebenarnya dari awal abang sudah ingin berterus terang sama adek, tetapi abang sangat takut kehilangan adek, abang benar-benar mencintai adek. Sumpah!”. Ujarnya penuh keyakinan.

“Tapi abang telah nyakitin perasaan adek dengan kebohongan abang selama ini…” Ujarku bergetar dan tanpa terasa dua butir bening jatuh di kelopak mataku.

“Maaf kan abang dek, abang tidak bermaksud nyakitin adek. Abang akan menikahi adek dan menceraikan istri abang. Selama ini abang memang tidak bahagia dengan perkawinan abang ini”. Ujarnya.

Mendengar kata-kata terakhirnya aku merasa terhanyut dan pasrah saat pertama kali setelah pertengkaran kecil itu Toni “menjamahku”, sebagai seorang gadis yang masih awam dalam masalah sex aku benar-benar terbuai dengan permainan Toni yang sudah berpengalaman. Akhirnya setelah semuanya terjadi, kehormatanku telah pergi aku kembali menangis dan menyesali apa yang telah terjadi, ternyata cinta telah membutakan kami. Kembali Toni dengan gaya meyakinkan memohon maaf atas kelancangannya tersebut, dan ia mengaku akan bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Mendengar kata-katanya aku kembali tenang, dan aku berpikir untuk apa menangis toh semuanya telah terjadi, nasi telah menjadi bubur.

Setelah kejadian pertama kami seperti lepas kendali, setiap ada kesempatan kami selalu mengulang perbuatan terlarang yang terkutuk tersebut. Aku juga tidak sanggup menolak setiap keinginan Toni, aku telah terlena dan dibutakan oleh belaian dan kata-kata Toni yang menyejukkan.

Tetapi satu hal yang sangat menyiksaku selama berhubungan dengan Toni adalah sikapnya yang sangat cemburuan, kemanapun aku pergi dan dengan siapapun aku bersahabat terutama rekan cowok dia akan sangat marah. Sehingga dengan sikapnya ini aku merasa terkungkung dalam pergaulanku. Tetapi selain sikap cemburunya yang kelewatan tidak ada hal yang membuatku terbeban berpacaran dengan Toni, karena dia begitu baik dan perhatian padaku semua kebutuhanku dipenuhinya dan aku juga dibelikan barang-barang mewah.

Satu hal yang selalu mengganjal adalah Toni selalu mendesakku untuk segera menikah, hal ini sulit kupenuhi karena aku masih kuliah, sehingga aku selalu mengulur-ngulur waktu. Sehingga hal ini sering mengundang pertengkaran-pertengakaran kecil.

Sampai suatu hari kami membuat janjian untuk bertemu di tempat biasa kami memadu kasih, yakni di sebuah kamar sempit di tempat kerja Toni yang terletak di belakang bank BTN Lhokseumawe. Dan hal-hal terlarang kembali terjadi, padahal saat itu aku sedang datang bulan tapi setan memang benar-benar kuat menggoda kami, aku benar-benar terjebak dalam nafsu cinta terlarang. Setelah melakukan perbuatan terlarang tersebut di sela-sela kami istirahat Toni kembali menawarkan tentang rencana pernikahan kami.

Aku kembali menolak dan memberi alasan-alasan seperti biasa, terjadi pertengkaran hebat tapi akhirnya Toni mengalah dan membujuk untuk kembali melakukan perbuatan terlarang tersebut. Setelah kami melakukan perbuatan terkutuk yang belum pantas kami lakukan tersebut Toni kembai mengajukan pertanyaan yang sama seperti tadi, “Dek, jadi kapan adek siap menikah dengan abang?” Ujar Toni.

“Adek belum siap, adek juga harus menyelesaikan kuliah dulu”. Ujarku.

“Kenapa sih selalu mengulur-ulur waktu? Adek pasti ada pacar lain neh! Kalau adek tidak memberi keputusan hari ini maka abang akan bunuh diri”. Ujarnya tiba-tiba sambil meraih pistol yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidur.

Meski terkejut aku tidak menanggapi ancaman tersebut, karena kupikir ini pasti ancaman main-main. Sampai tiba-tiba Toni berteriak kecil, “Abang benar-benar akan bunuh diri dek!”. Ujarnya serius sambil memegang pelatuk pistol dan mengarahkan ujung moncong pistol tersebut ke kepalanya.

Merasa ancamannya kali ini lebih serius aku berusaha merebut pistol tersebut, dan entah bagaimana kejadiannya tiba-tiba pistol itu menyalak dan sekilas kulihat Toni terjengkang mengeluarkan darah di mulutnya, ternyata peluru pistol itu mengenai rahang Toni. Kemudian seperti kesetanan aku kembali menekan pelatuk pistol itu, dan entah mengenai dimana aku tidak tahu karena saat itu aku seperti kerasukan tidak sadar sama sekali terhadap apa yang terjadi. Aku merasa pistol yang kupegang saat itu terasa ringan seperti korek api.

Sampai beberapa saat setelah kejadian itu aku belum sadar diri, tiba-tiba ada ketukan pintu dari luar, tapi aku tidak kuasa untuk membukanya. Sampai tiba-tiba pintu kamar kecil itu didobrak dari luar oleh beberapa orang polisi aku merasa masih linglung dan belum bisa menguasai keadaan.

Setelah kejadian tersebut aku benar-benar menyesal terhadap apa yang telah terjadi, akibat cinta butaku, dan merusak pagar ayu rumah tangga orang, kini aku hanya menghitung hari-hari sepiku di balik pengapnya tembok penjara Lhokseumawe, enam tahun aku di vonis oleh Hakim Pengadilan Negeri Lhokseumawe dari 12 tahun tuntutan yang divonis sebelumnya. Yang aku takutkan dalam sidang terakhir tersebut karena jaksan masih naik banding dengan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim tersebut, sehingga bisa saja hukumanku bisa bertambah lagi.

Akibat tidak sengaja telah menghilangkan nyawa Toni, seseorang yang sebenarnya sangat kucintai. Sekarang aku hanya hanya menjalani hari-hari sepiku di penjara yang pengab ini dengan jalan bertobat di penjara ini dengan taubatan nashuha “Maafkan aku Bang Toni!”.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar